Oleh Frislidia Padang (ANTARA News) - "Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya", satu pepatah Minang yang memiliki arti bahwa satu daerah berlainan pula tradisinya mulai dari berpakaian, bertutur kata, hingga menyajikan menu untuk keluarga, tamu dan menantu. Di Kota Padang, Sumatera Barat, begitu pula di Batusangkar, Payakumbuh, ataupun di Pariaman, adat menyambut tamu selain kental dengan satu sajian nasi kunyik, yaitu beras pulut putih yang ditanak pakai santan kelapa kental dan diberi kunyit itu (untuk pewarna), namun rendang tetap menjadi menu utama yang mentradisi. Sajian rendang, yakni gulai daging yang dikeringkan itu, sekaligus menggambarkan strata sosial satu kelompok atau golongan pada masyarakat Minangkabau. Jika satu keluarga menyajikan rendang, maka orang lain atau tamu yang datang dapat menilai bahwa keluarga tuan rumah adalah termasuk orang yang "berada" atau mampu. Noviani (35) mengatakan, sajian rendang menjadi menu utama yang tidak bisa ditiadakan pada acara-acara resmi perhelatan, akikah anak, atau syukuran keluarga. Lain lagi jika menyambut bulan puasa, `marandang` atau membuat rendang juga menjadi menu utama sahur pertama puasa. "Tetapi, kini rendang bisa didapatkan dalam bentuk makanan siap saji diolah oleh sekelompok industri rumah tangga di sejumlah daerah di Sumbar," katanya. Bedanya kini, rendang --gulai daging yang dikeringkan-- tiap tahun masih terus menjadi satu tradisi menu istimewa untuk makan sahur pertama Ramadhan, dan bagi kalangan ibu-ibu menyajikannya merupakan satu keharusan sehingga kini nyaris tidak satu pun rumah yang tidak memasak rendang. "Tiap tahun bagi, kami rendang sudah menjadi tradisi menu sahur pertama, kalaupun tak ada uang, seperempat kilogram daging pun harus diusahakan," kata seorang ibu rumah tangga, Yus(60), di Padang. Bagi Yus, yang juga pedagang sayur di Pasar Raya Padang, membuat rendang tidak begitu susah, tetapi untuk mendapatkan daging yang agak susah. Harganya daging kini di Padang mencapai Rp60.000 per kilogram (kg), dan sulit bagi ibu-ibu pedagang di pasar-pasar Padang untuk membelinya sebanyak sekilo. "Namun, karena sudah mentradisi, tiap puasa pertama, sahur perlu dilengkapi dengan rendang, guna memancing selera makan agar besok kuat berpuasa," katanya. Yus yang dirumahnya juga tinggal menantu dan beberapa orang anak dan cucu itu, mengatakan, untuk membuat rendang terkadang ia bergabung bersama anaknya itu. Sajian menu rendang, katanya lagi, harus dilakukan juga lebih menjaga supaya menantu jangan malu. Begitu pula bagi Mar (50) pedagang ramuan balimau yang sudah ditinggal pisah oleh suaminya itu selama 10 tahun, tetap mengupayakan untuk mendapatkan daging dan dibawa pulang dimasak menjadi rendang. "Saya kini tinggal bersama tiga anak di rumah tanpa suami, tetapi tetap ingin membuat rendang," katanya. Mudah-mudahan, harapnya lagi, puluhan bungkus ramuan balimau yang dijualnya itu bisa laku semua dan uangnya dapat dibelikan daging untuk rendang. "Ya..., kalau rendang tidak menjadi menu di rumah, saya merasa kasihan pada anak-anak, karena teman-temannya juga makan rendang," katanya. Cara membuat rendang, cukup mudah. Untuk ukuran satu kilogram daging sapi, membutuhkan sebanyak enam kelapa. Setelah diparut, kelapa diambil santan kentalnya kemudian dimasak sampai mendidih dengan bumbu dan cabe. Sejumlah bumbu mulai dari bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe semuanya digiling halus. Masukkan bumbu tadi kedalam santan yang direbus bersama cabe giling dan bumbu-bumbu yang digiling --juga dimasukkan daun kunyit, serai yang dimemar dan daun jeruk purut untuk pewangi-- itu yang dimasak sudah terlihat minyaknya, maka daging baru dimasukkan. Tambahkan bumbu penyedap atau bumbu pelunak daging agar daging rendang menjadi empuk. Panaskan lagi, tunggu hingga menjadi kering dan rendang siap disajikan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008