Yogyakarta (ANTARA News) - Denny (Indrayana) memang aktivis Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, tetapi Pukat Korupsi bukan Denny. Karena itu, Pukat Korupsi FH UGM Yogyakarta tetap akan memposisikan diri sebagai oposisi dalam kasus korupsi, meskipun salah satu pendirinya, Denny Indrayana, SH, LLM, PhD saat ini menjadi Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bidang Hukum. "Kami tetap akan menjadi opisisi untuk mengkritik kebijakan pemerintah khususnya yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)," kata Direktur Advokasi Pukat Korupsi FH UGM Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar SH, LLM (2/9). Kabar "mengejutkan" datang dari Denny Indrayana sendiri pada hari pertama puasa Ramadhan, Senin (1/9). Di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Denny memberi penjelasan kepada pers bahwa dirinya diangkat menjadi Staf Khusus Presiden bidang Hukum sejak 29 Agustus 2008. "Pilihan menerima jabatan Staf Khusus Presiden bidang Hukum karena ingin berjuang dari dalam. Saya ingin coba mengambil posisi di dalam. Sudah cukup lama saya di luar," katanya. Ia bahkan menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki lebih banyak pencapaian dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dibanding presiden-presiden sebelumnya. "Pemerintahan Yudhoyono memberi atmosfir yang baik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga KPK banyak mengungkap kasus korupsi. Artinya, kalau saya ingin berada di dalam, maka ini adalah Presiden yang tepat," tegasnya. Berhadapan dengan teman "Biarlah waktu yang akan menjawab, dan kami tetap akan menjadi oposisi meskipun saat ini harus berhadapan dengan teman. Denny memang aktivis Pukat Korupsi, tetapi Pukat Korupsi bukan Denny," kata teman Denny, Zainal Arifin Mochtar. Rekam jejak selama ini menunjukkan bahwa Denny sesungguhnya amat kritis terhadap pemerintahan Yudhoyono. Ia beberapa kali melontarkan istilah "pemakzulan" (impeachment) terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya ketika ramai dibicarakan aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan hak angket BBM. Pada 2007, Denny mengkritisi aliran dana nonbudgeter DKP dengan terdakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Dalam tulisannya di media cetak dia mengatakan, jika benar ada "dana haram" dalam Pilpres 2004, hal itu memang tidak dapat menjadi dasar untuk menyoal keabsahan hasil Pilpres 2004. Namun, aliran korupsi dana DKP akan menggerus legitimasi politis dan sosiologis hasil Pilpres 2004. Dia mengatakan, jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla benar menerima dana korupsi DKP, posisi kepresidenannya di ujung tanduk. Keduanya dapat dijerat dakwaan tindak pidana berat lainnya dan korupsi -- yang keduanya termasuk kriteria pasal pemakzulan (impeachment articles). "Secara legal pintu pemakzulan mungkin dilakukan," ujarnya. Pada 2008 Denny kembali melontarkan istilah pemakzulan, ini terkait dengan hak angket BBM. Ia menegaskan, kemungkinan hak angket berujung pada "impeachment" (pemakzulan) tergantung proses penyelidikan panitia khusus (pansus) hak angket atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. "Jika ternyata ditemukan unsur tindak pidana, apakah pidana itu mengarah ke pemakzulan atau tidak, tergantung siapa yang kena pidana. Jika mengarah ke presiden, hak angket bisa berlanjut ke impeachment," katanya. Bahkan soal hak angket BBM ini Denny mengkritik keras Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia menilai, persetujuan hak angket DPR perihal kebijakan kenaikan harga BBM jelas tak pernah diduga. Pasalnya, dalam rekam jejak politik parlemen, pemerintahan Yudhoyono selalu di atas angin dan langkah politik oposisi mandul di tengah jalan. Sebenarnya, tanda-tanda lunturnya dukungan parlemen terhadap Presiden Yudhoyono mulai muncul awal 2008. Mulai dari pengesahan UU Pemilu, calon gubernur BI hingga pada puncaknya hak angket DPR. "Maka sebagai reaksi atas kekagetan perubahan politik parlemen, Presiden Yudhoyono melalui para pembantu loyalnya, mulai panik dengan melakukan aksi tuding atas demonstrasi yang terjadi hampir bersamaan dengan kesepakatan hak angket DPR," kata Zainal. Hak angket semakin "seksi", terlebih menjelang pemilu 2009. Bahkan Denny menyebutkan, melalui hak angket pula lawan-lawan politik dapat memotong mimpi Presiden Yudhoyono menuju RI 1 untuk kali kedua. Merapat ke istana Tetapi kini Denny merapat ke istana. Alasannya ingin berjuang dari dalam, seperti yang sering terdengar dari alasan (klasik) para aktivis 1998 yang ramai-ramai maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu 2009 nanti. Mereka semua mengatakan, "Kalau selama ini berjuang dari luar (kekuasaan), maka sekarang harus dari dalam (kekuasaan)". Pertanyaannya, apakah berjuang dari dalam selama ini menunjukkan hasil signifikan selaras dengan idealismenya ketika berada di luar ? Banyak aktivis 1998 berada di dalam DPR saat ini, bahkan beberapa orang masuk di bidang eksekutif seperti komisaris di sejumlah BUMN. Sayangnya, rakyat kini tak lagi mendengar nama mereka sebagai ujung tombak memperjuangkan aspirasinya, meski janji akan berjuang dari dalam pernah dilontarkan untuk membenahi sistem yang katanya banyak menyengsarakan rakyat. Mungkin itulah politik -- kepentingan adalah sebuah keniscayaan. Bagi Pukat Korupsi FH UGM, seperti dikatakan Zainal Arifin Mochtar, tetap akan memposisikan diri sebagai oposisi khususnya dalam kasus korupsi. Ia hanya berharap Denny tetap pada jalur idealismenya dalam memperjuangkan pemberantasan korupsi. "Jika selama ini kami bersama-sama berjuang dari luar sistem pemerintahan, saat ini Denny harus mampu menunjukkan idealismenya dan berjuang dari dalam (pemerintah)," tegasnya. Sebagai seorang aktivis yang berjuang untuk melakukan perbaikan hukum, maka Denny harus tetap menjaga komitmennya. "Memang kondisinya berbeda saat ini, Denny berada pada posisi sebagai Staf Khusus Presiden, dan bukan lagi sebagai aktivis yang bersuara keras di luar pagar," katanya. Zainal juga berharap kedudukan Denny sekarang tidak hanya sebagai pajangan, tetapi sebagai ahli yang dapat berperan dalam perbaikan sistem hukum di negara ini. Jika Denny hanya dijadikan pajangan dan tidak dapat berperan sesuai keahliannya, maka dia harus berani bersikap dan segera keluar dari lingkungan pemerintah. Daya juang Denny dari dalam sistem pemerintahan saat ini ditunggu karena selama ini yang dicita-citakannya adalah penegakan hukum. "Biarlah waktu yang akan menjawab kiprah Denny." tegas Zainal. Denny Indrayana, lahir di Pulau Laut 11 Desember 1972. Ia lulus Sarjana Hukum dari FH UGM Yogyakarta pada 1995. Meraih gelar master dari University of Minnesota, USA pada 1997 dan PhD Faculty of Law University of Melbourne Australia pada 2005. Sejak kabar Denny diangkat menjadi Staf Khusus Presiden bidang Hukum 29 Agustus lalu, obrolan di kalangan akademisi dan pers berujung pada pertanyaan, "Apa yang kau cari Denny?". Pilpres 2009 tinggal beberapa bulan lagi.(*)

Oleh Oleh Eddy Karna Sinoel
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008