Oleh Ahmad Wijaya Beijing (ANTARA News) - Pukul 20.44 waktu setempat atau 19.44 WIB, pada Selasa, 2 September 2008, baru saja berlalu di Urumqi, ibukota wilayah otonomi khusus Xinjiang, China barat laut. Itulah waktu untuk shalat magrib sekaligus waktu berbuka puasa bagi penduduk kota Urumqi yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Mayoritas penduduk wilayah itu merupakan suku Uygurs. Wilayah otonomi khusus Xinjiang, China, memiliki letak geografis yang berbatasan dengan sejumlah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Kyrgistan, Tajikistan, Afghanistan, Kazakhstan, dan Pakistan, selain juga berbatasan dengan Mongolia, Rusia, dan India. Dengan wilayah seluas 1,66 juta kilometer persegi atau 16 persen luas China daratan, wilayah otonomi khusus itu didiami suku Uygurs (45,9 persen) yang umumnya beragama Islam, selain juga didiami suku Hans 39,6 persen, Kazaks 7,03 persen, Huis 4,44 persen, Kirgiz 0,85 persen, dan Mongol 0,85 persen. Bagi warga asing yang beragama Islam dan kebetulan berada di Urumqi, tidak sulit untuk mencari restoran atau warung halal untuk berbuka puasa di sana. Berbeda dengan di Beijing, di Urumqi hampir semua warung makanan dan restoran adalah tempat makan halal bagi umat muslim. Terdapat ratusan ribu tempat makanan bagi masyarakat muslim yang ingin berbuka puasa di Urumqi, sehingga umat muslim tidak perlu bersusah payah mencari tempat makan di kota itu. Beberapa lokasi tempat makan, yang bisa juga digunakan untuk berbuka puasa adalah di Wen Zhou yang terletak di pusat kota Urumqi yang hanya buka pada petang hari pukul 19.00 dan tutup 24.00 yang berlokasi di tengah jalan raya. Pusat jajanan di tengah jalan itu merupakan salah satu dari beberapa tempat makanan di Urumqi yang sangat terkenal. Pada pagi hingga sore hari jalan tersebut merupakan jalan raya yang dilalui kendaraan bermotor dan tempat parkir mobil. Pada malam hari, jalan sepanjang kira-kira 800 meter itu berubah menjadi tempat makan yang ditandai dengan banyaknya gerobak makanan lengkap dengan meja dan kursi di sekitarnya. Pemandangan menjadi lebih menarik karena pusat jajanan itu dilengkapi lampu berwarna-warni. Tidak didapat informasih asal-muasal pusat jajanan itu muncul di Wen Zhou. Hal yang pasti, pusat jajanan itu setiap bulan Ramadhan juga berfungsi sebagai tempat berbuka puasa untuk sejumlah warga yang ingin makan atau sekadar minum. "Tak ada warga yang tahu secara persis kapan tempat ini menjadi tempat makan di tengah jalan pada petang hari. Ketika saya memulai usaha di sini beberapa pedagang sebelumnya telah beroperasi," kata Abbas, pedagang makanan khas Xinjiang, yang merupakan penduduk asal Uygurs. Di sepanjang Wen Zhou terdapat puluhan gerobak berwarna putih yang tertata rapi dan masyarakat diberi pilihan berbagai jenis makanan khas Xinjiang. Di situ ada sate kambing, daging kambing, ayam ungkep, berbagai jenis ikan danau dan tambak, ikan atau hewan laut seperti udang, kerang, kepiting, mie rebus, serta daging sapi. Bagi warga yang tidak doyan daging, di lokasi itu juga terdapat sejumlah pedagang yang menyediakan sayuran yang diolah sedemikian rupa. Pokoknya semua merupakan makanan khas Xinjiang dan halal. Soal harga, di tempat itu tidak terlalu mahal dan bervariasi. Untuk sate kambing, misalnya, dijual sekitar 3-4 yuan (1 yuan sekitar Rp1.360) per tusuk, untuk mi khas Xinjiang ditawarkan 10 yuan per mangkok komplit dengan satu potong paha ayam dan sayur mayur. Bagi warga asing yang belum lama tinggal di China, khususnya yang belum pernah menikmati makanan khas Xinjiang, semua masakan terasa agak aneh dan kurang sesuai selera, karena memang bumbu-bumbunya sangat berbeda dengan bumbu khas Indonesia. Untuk sate kambing khas Xinjiang, misalnya, bumbu yang digunakan adalah rempah-rempah seperti lada dan cabai yang dipotong kecil-kecil dikeringkan dan langsung dibakar hingga matang. Bandingkan dengan sate kambing khas Indonesia yang setelah dibakar lalu diberi bumbu kacang plus kecap atau kecap plus bawang merah yang dipotong-potong. "Saya belum bisa menikmati sate khas Xinjiang walau sudah hampir dua tahun tinggal di China. Kalau sate kambing Indonesia dengan bumbu kecap ditambah bawang merah masih bisa masuk ke perut," kata Atase Perdagangan (Atdag) Beijing Imbang Listiyadi. Ayam ungkep plus bumbu-bumbu seperti potongan bawang merah dan bawang bombay merupakan salah satu makanan favorit di tempat itu, terbukti dengan banyaknya pedagang itu di sepanjang jalan tersebut. Siti, yang membuka usaha ayam ungkep khas Xinjiang, mengaku setiap malam dirinya bisa menjual 20 hingga 30 potong ayam dengan harga 20 yuan setiap ekornya. Makanan ini juga cukup lezat untuk dinikmati, khususnya bagi warga Indonesia, karena rasanya tidak terlalu jauh dengan ayam ungkep khas Indonesia, walau bumbu aslinya sangat pedas untuk ukuran orang Indonesia. General Manager (GM) Garuda Indonesia Beijing, Pikri Ilham K., merupakan salah seorang warga Indonesia yang gemar ayam khas Xinjiang itu, jika tidak dihidangkan terlalu pedas. "Kita bisa juga memesan ayam dengan tidak terlalu pedas. Walaupun saya sesungguhnya suka pedas tapi makanan di sini pedasnya luar biasa," kata Pikri. Tak jauh dari Wen Zhou atau hanya dipisahkan oleh sebuah jalan raya, terdapat pusat jajanan lain yang juga terkemuka bagi masyarakat Urumqi, yang dinamakan SinKiang. Pusat jajanan itu juga hanya buka pada malam hari. Tapi Sinkiang tidak menempati di jalan raya, melainkan di sebuah halaman yang luas di depan sejumlah toko dan pusat perbelanjaan. Sama halnya dengan di Wen Zhou, para pedagang makanan di SinKiang juga menggunakan gerobak. Lokasi itu pada petang hari juga banyak diburu warga kota setempat untuk berbuka puasa, karena banyak menu pilihan di sana. Soal harga dan menu makanan tidak jauh berbeda dengan "tetangganya" para pedagang di Wen Zhou, bahkan di SinKiang lokasinya agak luas dan lebih terang karena lampu yang digunakan lebih banyak. Meskipun demikian para pedagang di Wen Zhou dan Sinkiang merasa tidak merasa saling tersaingi karena mereka mengaku sudah memiliki segmen pasar sendiri. "Saya tidak merasa pedagang di Wen Zhou menjadi pesaing kita karena kita memiliki segmen sendiri-sendiri. Terserah masyarakat mau memilih makan di mana," kata Abdul, seorang pedagang satu kambing. Buktinya, setiap malam ia bisa menghabiskan rata-rata 100 tusuk sate setiap malamnya dengan harga 4 yuan per tusuk. Ia berpromosi daging kambing yang dijual berkualitas tinggi dan dijamin halal, dan memotongnya sesuai sariah Islam. Saat dikunyah, sate itu memang terasa nikmat dan empuk. Wang Chang, warga Urumqi yang ditemui ketika sedang menyantap sate kambing, mengatakan, dirinya bersama keluarga atau relasi bisnisnya sangat sering berkunjung ke SinKiang untuk makan malam bersama. Menurut dia, selain menu makanan yang bervariasi, harganya juga tidak terlalu mahal dengan suasana yang menyenangkan dan indah pada malam hari karena lampu bertebaran di sana-sini. "Makanannya enak-enak dan harganya pun tidak terlalu mahal untuk ukuran saya. Akibat terlalu sering makan di sini, beberapa pedagang sudah menjadi langganan saya," katanya. Bagi warga asing yang tidak bisa bahasa Mandarin dan bahasa Uygurs, memang repot untuk berkomunikasi di sana, karena para pedagang umumnya tidak bisa berbahasa Inggris. Ada baiknya membawa teman yang bisa berbahasa Mandarin untuk memudahkan komunikasi. Tapi, hal itu juga bukan masalah berarti, karena "bahasa tarzan" alias bahasa isyarat juga cukup ampuh dilakukan. Para pedagang juga memaklumi kesulitan yang terjadi akibat kendala bahasa tersebut. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008