Jakarta (ANTARA News) - Ada sebuah jajak pendapat yang berisi pertanyaan: Pernahkah anda mendengar nama AR Baswedan? Pilihan jawaban pertanyaan itu diberikan: Ya, lebih dari 10 kali, Ya, tidak lebih dari 10 kali, Ya, cuma sesekali, dan Tidak. Jajak pendapat yang disajikan di Perpustakaan Online Abdurrahman Baswedan dan masih bergulir hingga kini itu ingin menghimpun pendapat publik tentang salah seorang pendiri (founding fathers) bangsa ini. Dibanding Soekarno, Hatta, atau Sjahrir, nama AR Baswedan barangkali masih kalah populer tetapi untuk mengetahui tokoh yang pernah mendirikan Partai Arab Indonesia, tak ada nama lain kecuali Abdurrahman Awad Baswedan. Partai itu ia dirikan di Semarang pada tahun 1934 atau enam tahun setelah Sumpah Pemuda sebagai alat perjuangan etnis Arab di Indonesia dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Dalam buku berjudul "Abdurrahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya" karya Suratmin (Depdiknas, Jakarta 1989) disebutkan bahwa Partai Arab Indonesia diketuai oleh AR Baswedan (dari aliran Al Irsyad), Penulis (Sekretaris) I Nuh Alkaf (Arrabitah) dan Penulis II Salim Maskatie (Al Irsyad), Bendahara Segaf Alsegaf (Arrabitah), dan Komisaris Abdurrahim Argubi (Al Irsyad). Kala itu Baswedan masih amat muda dalam percaturan pergerakan nasional. Ia lahir di Kampung Ampel, Surabaya, Jatim 9 September 1908 dari pasangan suami istri Awad Baswedan dan Aliyah binti Abdullah Jarhum. AR Baswedan merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yakni Ibrahim (meninggal 1944), Ahmad (meninggal 1964), AR Baswedan, dan Umar (meninggal 1976). AR Baswedan memiliki tiga saudara tiri lain ibu (ibu tirinya bernama Halimah) yakni Abdullah (meninggal 1950), Salim Baswedan, dan Mariam. Ayahnya memang sempat menikahi empat wanita yakni Aliyah binti Abdullah Jarhum (meninggal 1918), Hamidah (tak memiliki anak), Aisyah (adik Aliyah, juga tak memiliki anak), dan Halimah. Meskipun ayahnya yang bernama Awad Baswedan dan keluarga besar Baswedan dikenal sebagai kaum pedagang bahkan ayahnya merupakan konglomerat pada masanya, AR Baswedan tumbuh sebagai tokoh pergerakan nasional dengan didikan Islam yang kuat. AR Baswedan menikah saat berusia 17 tahun dengan seorang wanita bernama Syeikhun yang berusia 14 tahun pada 1925. Pasangan AR Baswedan-Syeikhun memiliki sembilan anak yakni Anisah, Aliyah, Fuad, Awad Rasyid, Hamid, Atika, Nur, Imlati, dan Lukyana. AR Baswedan kemudian menikahi seorang perempuan lain bernama Barkah dan dikarunia dua anak yakni Havied Natsir dan Ahmad Samhari. Ia tidak tertarik menjadi pedagang. Awalnya ia menjadi wartawan pada tahun 1932 di sebuah harian "Sin Tit Po" di Surabaya. Ia kerap menulis yang menyerang Belanda dalam rubrik "Abun Awas". Soebagijo IN dalam buku Jagat Wartawan menyebut AR Baswedan sebagai salah satu dari 111 orang perintis pers nasional. Pada 1933, AR Baswedan pindah ke suratkabar Soeara Oemoem milik dr Soetomo, kemudian pada tahun 1934 bekerja di harian Matahari pimpinan Kwee Hing Tjiat di Semarang. Foto AR Baswedan yang mengenakan pakaian tradisional Jawa lengkap dengan blangkon membuat etnis Arab kebanyakan terkejut tetapi hal itu ia lakukan untuk menggugah etnis Arab untuk menyatu dengan bangsa Indonesia dan berjuang merebut kemerdekaan secara bersama-sama. Ia pernah menulis artikel di suratkabar Matahari berjudul "Peranakan Arab dan Totoknya" yang menganjurkan etnis Arab melaksanakan komitmen dalam Sumpah Pemuda yakni berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Indonesia. Hal itu ia jadikan asas saat mendirikan Partai Arab Indonesia. Ia menyebut tanah air Arab peranakan adalah Indonesia, kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesiaa-Islam seraya menyerukan agar masyarakat etnis Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia. Melawan Rintisan yang dilakukannya itu berbuah pengakuan bahwa etnis Arab merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Partai Arab Indonesia yang ia dirikan bergabung dalam Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI). Ketika masa kolonial Jepang, GAPPI dibubarkan. Suratkabar Matahari dibubarkan pula. AR Baswedan sempat ditangkap polisi Jepang, Kenpetai karena dianggap melawan pemerintahan kolonial. Ia antara lain menolak kebijakan pemerintah kolonial Jepang yang mewajibkan tiap keluarga etnis China dan Arab mendaftarkan diri sebagai bukan orang Indonesia. Ia melawan fasisme Jepang. Namun ketokohan AR Baswedan semakin dikenal saat aktif terlibat dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di badan itu ia sempat berpidato yang menegaskan bahwa tanah air peranakan Arab adalah Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Partai Arab Indonesia membubarkan diri ketika pemerintah mengeluarkan manifes politik agar partai membubarkan diri dan membentuk partai baru. AR Baswedan kemudian masuk di Partai Masyumi sedangkan tokoh dari Partai Arab Indonesia lainnya seperti Hamid Algadri masuk di Partai Sosialis Indonesia dan yang lain aktif menjadi pengurus di Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasionalis Indonesia (PNI), bahkan ke Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti dialami Baraqbah yang menjabat Ketua PKI Kaltim. Ia pun menjadi Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante. Perjalanan hidup selanjutnya membuat AR Baswedan menetap di Yogyakarta. Ia menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu ia juga mengasuh Badan Koordinasi Pengajian Anak-anak (BAKOPA) atau Ikatan Khatib. Luas pergaulan dan mudah diterima di semua kalangan identik dengan pribadi Baswedan. Dalam pergaulan Baswedan tidak memandang perbedaan agama maupun latar belakang sosial politiknya. Seorang tokoh Islam yang moderat merupakan ciri kuat yang melekat padanya, teman terdekat Baswedan YB Mangunwijaya seorang budayawan dan rohaniawan Katolik. "Hari ini menyambangi tokoh Muhammadiyah Djarnawi hadikusumo di Kauman, besok mengunjungi Romo Mangun di lembah kali Code. Begitu dilakukannya setiap hari," kata Wakil Ketua Fraksi PPP DPR Lukman Hakiem mengenang kedekatannya dengan AR Baswedan sejak 1983. AR Baswedan turut mendirikan Lembaga Dakwah Kampus Jamaa`ah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada yang dikenal dengan sebutan JS UGM. Lembaga itu didirikan sebagai wadah pergerakan, pembinaan, pengkaderan, pengkajian dan pelayanan sekaligus pusat keislaman kampus UGM. Lembaga itu sempat akan dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru. Saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Daoed Joesoef pernah memerintahkan Rektor UGM untuk membubarkan JS dengan dalih banyak pengurus JS terlibat demonstrasi menentang pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978. Sebagai wartawan pejuang Baswedan produktif menulis. Ia sastrawan, penyair, dan seniman. "Kakek selalu menulis dan saya mengetik apa yang beliau diktekan," kata Dr Anies Rasyid Baswedan, salah seorang cucunya yang kini menjabat Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, saat diwawancarai Antara. Sejumlah buku karya AR Baswedan adalah "Debat Sekeliling PAI" (1939), "Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab" (1934), "Rumah Tangga Rasulullah" (1940). AR Baswedan wafat pada 16 Maret 1986 setelah beberapa hari sakit dan dirawat di Rumah Sakit Islam Jakarta dan jasadnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.(*)

Oleh Oleh Budi Setiawanto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008