Jayapura (ANTARA News) - Masyarakat yang bermukim di wilayah tapal batas antara Republik Indonesia (RI) dengan Papua Nugini (PNG) tetap mendapatkan pelayanan rohani dari para pemimpin agama yang bertugas di wilayah itu. "Pada umumnya, masyarakat yang bermukim di wilayah perbatasan ini memeluk agama Nasrani sehingga mereka sering mendapat pelayanan dari para pastor bagi yang berasal dari Gereja Katolik dan pendeta bagi mereka yang berasal dari Gereja Kristen Protestan. Pelayanan rohani tidak membedakan asal-usul negara dan budaya melainkan lintas budaya, bangsa dan negara," kata Pastor Silas Eka Wayan,SVD di Waris, Kamis. Distrik Waris, lanjut Pastor Silas merupakan salah satu distrik di Kabupaten Keerom yang berbatasan langsung dengan negara tetangga PNG. Wilayah ini sering didatangi masyarakat PNG untuk menyelesaikan berbagai urusan adat, ekonomi keluarga dan urusan kerohanian. Banyak sekali warga PNG yang datang ke Distrik Waris untuk beribadah bersama saudara-saudara sesuku dan serumah adapt yang bermukim di Waris. Secara kewarganegaraan, mereka berkewarganegaraan PNG tetapi secara adapt-istiadat dan budaya, mereka bersaudara dengan masyarakat Waris. Mereka punya hubungan kawin-mawin dan adat yang sama. Hal ini tidak dapat dipisahkan. Apabila warga PNG di perbatasan itu meminta pelayanan rohani seperti dalam tradisi Gereja Katolik, pelayanan sakramen pernikahan, pembaptisan dan sakramen tobat, maka para Pastor di Distrik Waris selalu dengan senang hati memberikan pelayanan itu karena hal ini merupakan kewajiban setiap pastor untuk memberikan pelayanan rohani sesuai kebutuhan umat setempat tanpa membedakan asal-usul dan sebagainya. Pastor Silas mengatakan, masyarakat yang bemrukim di perbatasan kedua negara ini selalu hidup rukun dan damai serta saling membantu dalam kesusahan serta saling mengunjungi sebagai kerabat. "Kami merasa senang melihat betapa indahnya persaudaraan yang dibangun dan dibina antara dua kelompok masyarakat yang berbeda keawarganegaraan itu namun satu dalam tradisi dan budaya. Mereka sangat rajin beribadah di gereja-gereja yang berada di wilayah tapal batas RI dengan PNG. Di hadapan Allah, kita semua adalah ciptaanNya," kata Pastor Silas. Buah dari kehidupan rohani umat yang dipelihara dengan baik di wilayah perbatasan ini adalah terciptanya suatu masyarakat perbatasan yang damai dan bersaudara tanpa terjadi konflik horizontal. Pastor Silas kelahiran Pulau Dewata - Bali ini mengatakan, pihaknya setuju dengan pendapat seorang cendekiawan asli Papua, Manuel Kaisiepo yang juga mantan Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia bahwa garis batas formal antarnegara RI dengan PNG oleh masyarakat tradisional yang bermukim di sepanjang perbatasan itu dipandang sebagai batas imajiner. Mengapa, karena pada dasarnya mereka itu berkerabat, memiliki satu rumah suku yang sudah diturun-temurunkan sehingga selayaknya dibina kerjasama yang konstruktif di antara mereka. "Sama seperti perbatasan darat Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste, masyarakat di perbatasan itu bersaudara, berkerabat dalam satu rumah suku. Mereka saling mengunjungi dalam urusan adat kelahiran,perkawinan,kematian serta bergotong royong membuka ladang dan beternak sapi dan kerbau di tapal batas. Hal yang sama terjadi juga di perbatasan Provinsi Papua dengan PNG," katanya mengutip pernyataan Manuel Kaisiepo. Masyarakat di perbatasan ini hampir tidak peduli dengan persoalan perbatasan yang digariskan secara politis yang memisahkan wilayah negara yang satu dengan yang lainnya sehingga semua pihak yang berkepentingan di wilayah ini tidak perlu membesar-besarkan dan menajamkan perbedaan tetapi harus mengupayakan penguatan kesamaan tradisi dan budaya demi tercipta kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama. "Garis perbatasan antarnegara itu imajiner bagi masyarakat tradisional di wilayah perbatasan ini dan hanya konkret bagi pengertian formal negara," katanya. Pihaknya mendukung semua upaya kerjasama yang dilakukan pemerintah RI dengan PNG melalui Joint Border Committee (JBC) yang secara rutin melakukan pertemuan untuk membahas kerjasama pembangunan di wilayah perbatasan ini. Melalui JBC itulah, dibahas berbagai hal antara lain lintas batas tradisional dengan menggunakan Pas Lintas Batas (PLB). Masyarakat tradisional melintasi perbatasan itu untuk melaksanakan berbagai urusan, selain saling mengunjungi sesama kerabat dalam satu suku, juga untuk urusan ekonomi seperti jual-beli kebutuhan sehari-hari dan hasil ladang mereka masing-masing. Pasar-pasar perbatasan perlu terus dikembangkan di Jayapura dan Merauke sebagai pintu masuk utama kerjasama antarwarga masyarakat di wilayah perbatasan ini. Manuel Kaisiepo mencontohkan, walaupun Timor Leste sudah menjadi sebuah negara merdeka namun secara riil, kebutuhan hidup masyarakat setiap hari didatangkan dari Indonesia terutama wilayah perbatasan seperti dari Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara (TTU). Masyarakat Timor Leste membutuhkan sembilan bahan pokok (Sembako), minyak goreng, pakaian dan alat-alat tulis anak-anak sekolah, buku-buku sekolah dan sebagainya yang semua itu dibeli dari Kabupaten Belu dan TTU. "Kita harus tetap menghormati kedaulatan negara masing-masing. PNG adalah sebuah negara berdaulat dan Papua merupakan bagian integral dari NKRI dan kita semua dipanggil untuk menepis perbedaan sekaligus membangun jembatan kerjasama yang konstruktif dan prospektif di berbagai bidang pembangunan seperti ekonomi, pendidikan dan kebudayaan," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008