Jakarta (ANTARA News) - Lehman Brothers yang kelimpungan karena didera krisis likuiditas dan sedang berjuang mempertahankan kelangsungan hidup bisnisnya, dikabarkan akan melego aset-asetnya dan menjual sahamnya dalam satu lembaga investasi ternama. Namun langkah firma keuangan raksasa AS itu ditanggapi skeptis para investor sehingga saham perusahaan ini kembali jatuh ke posisi terendah baru dalam kurun beberapa hari saja. Perusahaan yang didirikan pada 1850 oleh tiga imigran Jerman berprofesi pedagang katun ini dihantam rugi 3,9 miliar dolar AS (sekitar Rp36 triliun) pada kuartal terakhir sehingga memutuskan memangkas dividen hingga 90 persen. "Mereka berupaya meningkatkan modal dengan menerbitkan obligasi dan surat-surat utang lainnya, sayang itu semua tidak ada artinya. Kini, mereka hendak menjual aset-asetnya yang akan menjadi biang hancurnya kinerja perusahaan itu di masa depan," kata Bill Fitzpatrick, analis pada Optique Capital Management seperti dikutip Reuters, Kamis. CEO Lehman Brothers Dick Fuld mengungkapkan hasrat perusahaanya untuk menawari para investor guna membeli seluruh aset perusahaan, namun dia berharap Lehman tetap menjadi perusahaan publik. Pada penutupan perdagangan Wall Street lalu, saham Lehman Brothers terkikis 94 sen dolar AS atau 12 persen menjadi 6,85 dolar AS (sekitar Rp63 ribu) setelah sehari sebelumnya terhempas 45 persen. Lehman yang menjadi korban terbaru dari krisis kredit perumahan global tengah didera krisis kepercayaan, demikian pernyataan lembaga pemringkat terkemuka dunia Moody's Investor Service. Perusahaan ini telah berjibaku selama beberapa bulan menghadapi isu kredit macet miliaran dolar AS, rumor eksodus besar-besaran nasabahnya dan berencana membuka pihak luar untuk masuk dan mengambil alihnya pada harga diskon gila-gilaan. Para pialang menyebut Lehman sungguh tak lagi bernilai sehingga harga sahamnya tak henti tertekan. Pasar kini bertanya apakah pemerintah AS akan mengintervensi Lehman seperti ketika mereka membailout dua raksasa keuangan AS lainnya yang jatuh bangkrut, Fannie Mae dan Freddie Mac. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008