Jakarta (ANTARA News) - Direktur Pelaksana Econit, Henri Saparini, mengusulkan ke pemerintah mengubah sistem pengelolaan dan sumber dana cadangan devisa yang saat ini bersifat semu. Ia mengemukakan hal itu di Jakarta, Kamis, menanggapi kemampuan ekonomi Indonesia menghadapi kecenderungan memburuknya ekonomi Amerika Serikat dan Eropa dan gejolak nilai tukar mata uang di dalam negeri. Menurut catatan Bank Indonesia (BI), cadangan devisa akhir Agustus 2008 mencapai 58,4 miliar dolar AS atau turun sekitar 2 miliar dolar dari bulan sebelumnya yang mencapai 60,563 miliar dolar AS. BI mengakui penurunan cadangan devisa tidak terlepas dari upaya pemerintah menstabilisasi rupiah dan membayar utang, juga menghadapi tekanan global akibat perlambatan ekonomi dunia dan tingginya inflasi. Cadangan devisa Indonesia saat ini , kata Henri, bersifat semu karena didorong "hot money" berupa besarnya aliran dana masuk dari luar negeri akibat kenaikan harga komoditi di pasar internasional dan dana asing ke surat berharga negara (SBN) yang nilainya cukup besar. "Pemerintah ingin menahan dana-dana itu jangan sampai keluar dari Indonesia, dengan menaikkan suku bunga (BI Rate) untuk menekan inflasi. Namun dampaknya buruk terhadap sektor riil," katanya. Akibat kenaikan suku bunga, ongkos yang harus dibayar terutama dunia usaha semakin tinggi yang berdampak pada menurunnya ekspansi di sektor riil sehingga memicu kelesuan ekonomi. Sejak tahun 2007, untuk mengatasi tekanan inflasi pemerintah selalu menggunakan pendekatan moneter dengan menaikkan BI Rate, namun kenyataannya inflasi tidak bisa ditekan bahkan selalu melebihi target. "Meskinya untuk menekan inflasi cukup dengan menjaga stok harga barang dan jasa serta mengatur distribusinya," kata Hendri. Ia menuturkan, kebijakan menaikkan BBM pada beberapa waktu lalu juga merupakan tindakan yang tidak populer karena selain meningkatkan inflasi juga menghambat berkembangnya pertumbuhan industri di sektor manufaktur. "Pemerintah terkesan menggunakan kebijakan moneter (menaikkan suku bunga.red) yang penerapannya jauh lebih mudah, tetapi tidak mendorong daya saing industri," katanya. Menurutnya cadangan devisa saat ini lebih diperoleh dari kenaikan harga komoditi di pasar internsional yang sewaktu-waktu tidak bisa bertahan. "Terbukti saat ini harga komoditi menurun, dan pendapatan ekspor Indonesia sebanyak 50 persen merupakan barang primer sehingga rawan terhadap penurunan harga internasional," katanya. Ada beberapa komoditi seperti pakaian jadi dan sepatu yang tahan terhadap gejolak pasar dunia karena memang memiliki pasar di dalam negeri yang masih sangat besar. Namun barang berorientasi ekspor akan sangat terganggu jika penurunan ekonomi terjadi negara-negara sejumlah negara di dunia. Karena itu ujar Henri, pemerintah harus mengubah orientasi pengelolaan dan sumber devisa dengan tidak melulu menaikkan suku bunga yang mengorbankan dunia usaha, sehingga terjadi penciptaan lapangan kerja, dan daya tahan ekonomi lebih kuat. "Untuk mencari dana cadangan devisa pemerintah tidak salah mengambil contoh dari Cina, yang memiliki cadangan devisa di atas sekitar 1,76 triliun dolar AS triliun yang diperoleh dari hasil daya saing dan produktivitas industri dalam negerinya," ujarnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008