Makassar (ANTARA News) - Makam penyebar Agama Islam di Makassar kebanyakan tidak terurus, seperti Komplek Makam Lajangiru di Kecamatan Bontoala dan Makam Sitti Habiba, Raja Bone ke-14 di Kompleks Pasar Pannampu. "Di Kompleks Makam Lajangiru ini terdapat lima makam besar yang bangunannya berbentuk kubah masjid, mereka yang dimakamkan di sini adalah penyiar Agama Islam ratusan tahun silam," kata juru kunci Kompleks Makam Lajangiru Muh. Tahir, di Makassar, Rabu. Tidak terurusnya makam para penyebar Islam di Makassar itu terlihat, misalnya, pada penampilan fisik bangunan makam di sana. Sebagian bangunan dari lima makam yang ada di pemakaman tersebut lapuk dimakan usia. Dinding makam para penyiar agama itu berlumut dan lantainya sudah buram. Lima makam itu tempat beristirahatnya Ince Habib Hasan, Habib Muhsin wafat, Habib Assegaf, Habib Ali Sihab dan Habib Adam Muri. Sedang yang masih terurus dibanding makam lainnya adalah makam Lajangiru bersama anggota keluarga. Lajangiru adalah tuan tanah pribumi pada zaman penjajahan Belanda yang mewakafkan lahannya untuk kompleks pemakaman. "Sebelum ditangani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sulsel, kami hanya merawat makam ini secara turun-temurun secara sukarela," ungkap Tahir didampingi Abdul Rauf yang juga mengurusi makam tersebut. Untuk merawat makam tersebut, Tahir mendapatkan tunjangan dari pemerintah daerah. Menurut Tahir, ketika masih honorer hanya mendapat upah Rp45 ribu per tiga bulan, kemudian beberapa tahun berikutnya dinaikkan menjadi Rp400 ribu per tiga bulan, dan setelah diangkat menjadi PNS Disbudpar yang mengurusi makam cagar budaya, barulah gajinya mencapai Rp1 juta lebih. "Dengan kondisi yang serba mahal seperti sekarang, gaji tersebut hanya cukupk untuk menutupi kebutuhan keluarga," ujarnya. Meskipun begitu, ia tetap semangat menjaga dan memelihara makam, karena pekerjaan itu sudah turun-temurun dari kakeknya. Sementara saat ini, lanjutnya, meskipun sudah ditangani Disbudpar Sulsel, namun renovasi atau pemugaran belum pernah dilakukan, hanya memberi tembok sekeliling makam saja. Di sebelah kompleks makam Lajangiru, terdapat sebuah makam keturunan Timur Tengah yang juga menyebarkan Agama Islam di daerah ini, yakni makam Yusuf Afandi. Makam turunan Turki tersebut terbuat dari batu marmer putih dengan hiasan kaligrafi. Di makam itu tertera tahun wafat pada 1335 H. Makam, yang dari sisa-sisa bangunannya memperlihatkan kebesaran orang yang di makamkan, rupanya juga luput dari perawatan khusus pemerintah setempat. Kondisi makam yang tidak terurus juga terlihat pada makam Sitti Habibah yang merupakan Raja Bone yang ke-24, yang wafat sekitar 150 tahun silam. Dia adalah seorang peempuan yang menjadi raja, dan kepemimpinannya dikenal sebagai raja berwibawa serta merupakan salah satu penyiar Agama Islam di Sulsel. "Makam ini jarang dikunjungi orang, dan pemerintah juga tidak memperlihatkan keseriusan melestarikan cagar budaya ini," ungkap salah seorang keturunan Bugis Bone, Daeng Bulan yang tinggal di kompleks makam Sitti Habibah. Untuk merawat makam itu, para anggota keluarga melakukannya dengan sukarela. Daeng Bulan mengaku tahu bahwa ada bantuan atau biaya pemeliharaan makam dari Disbudpar, namun dana itu tidak sampai ke tangannya, melainkan ke pihak lain. Hingga kini, menurut dia, pihak yang diberi tanggung jawab membersihkan dan merawat makam itu tidak kunjung datang. Menanggapi banyaknya makam penyebar Agama Islam di kota ini yang terbengkalai, Kepala Disbudpar Kota Makassar Eddy Kosasi Parawansa mengakui hal itu. Menurut dia, keterbatasan anggaran menjadi kendala utama pemugaran sejumlah cagar budaya. "Karena itu, yang dapat dilakukan minimal tetap menjaga kebersihan makam oleh petugas penjaga makam yang telah mendapat tunjangan dari Disbudpar kota atau provinsi," katanya.(*)

Oleh Oleh Suriani Mappong
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008