Manila (ANTARA News) - Meski harga minyak di pasar berjangka dunia jatuh, Bank Pembangunan Asia (ADB) mengingatkan pemerintah di kawasan Asia, Selasa, agar tidak berpuas diri, dengan mengatakan hari-hari minyak murah telah berakhir. Harga minyak telah jatuh lebih dari sepertiga dari nilainya, dari level rekor tertingginya di atas 147 dolar AS per barel pada Juli. Meski demikian, bank yang bermarkas di Manila itu mengatakan dalam "2008 Asian Development Outlook"-nya yang terbaru, harga minyak yang tinggi tetap ada dalam jangka waktu tertentu, karena harga akan "volatile" atau mudah berubah. Bank itu mengatakan diperkirakan dunia akan menyesuaikan dengan harga minyak pada 100 dolar AS atau lebih per barel. "Sementara akan ada fluktuasi jangka pendek, kecenderungan yang berlangsung lama yang jelas merupakan jangka waktu yang diperpanjang dari harga minyak yang tinggi dan menyatakan volatilitas harga," kata ADB, seperti dilaporkan AFP. "Untuk jangka panjang, negara-negara berkembang di Asia dan lainnya di dunia berada dalam kondisi penolakan kolektif tentang perubahan dalam lanskap minyak global." "Hari-nari minyak murah telah berakhir," kata bank itu. "Teka teki yang berlangsung lama harus berhenti dan itu harus berhenti sekarang. "Begitu realisasi bahwa harga minyak tinggi terjadi, segera penyesuaian yang diperlukan akan dilakukan." Di New York Senin harga minyak terjerembab 5,47 dolar AS untuk ditutup pada 95,71 dollar AS per barel sementara di London harga minyak tersungkur 5,20 dolar AS menjadi 92,38 dolar AS per barel. Harga minyak turun lebih dari dua dolar AS di perdagangan pagi Asia pada Selasa. ADB mengingatkan bahwa "lingkungan harga minyak" yang baru akan berdampak besar terhadap negara-negara berkembang di Asia. "Mungkin implikasi paling segera adalah pemerintah, rumah tangga, dan perusahaan di kawasan Asia akhirnya harus bangun menghadapi kenyataan baru itu." Bank itu mengatakan harga minyak yang tinggi akan berdampak berlawanan pada pertumbuhan negara-negara berkembang di Asia, inflasi dan neraca berjalan. Namun wilayah di mana itu akan sangat berdampak, kata bank itu, adalah inflasi sejak minyak masih tetap menjadi bahan bakar dominan untuk transfortasi "yang diperlukan untuk produksi hampir seluruh barang dan jasa." "Dilema kebijakan fundamental yang dihadapkan dengan pembuat kebijakan di Asia adalah antara pertumbuhan yang melambat dan inflasi yang makin tinggi," bank itu menyimpulkan. (*)

Copyright © ANTARA 2008