Yogyakarta (ANTARA News) - Forum Rektor Indonesia (FRI) merekomendasikan dilakukan kembali kajian terhadap sistem demokrasi di Indonesia agar dapat dipilih yang lebih tepat untuk masyarakat Indonesia yang heterogen. "Rekomendasi ini disampaikan karena demokrasi yang berkembang di tanah air dewasa ini ditengarai kurang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yang majemuk dengan tingkat kesenjangan yang tinggi," kata Ketua FRI Prof Dr Edy Suandi Hamid didampingi Dewan Pertimbangan FRI Prof Eko Budiharjo kepada pers di Yogyakarta, Rabu. Corak demokrasi yang sesungguhnya hanya cocok untuk masyarakat relatif homogen, ini kemudian diadopsi dan diterapkan untuk masyarakat Indonesia yang sangat heterogen, sehingga demokrasi di Indonesia berkembang dengan biaya tinggi dan menumbuhsuburkan budaya politik uang. "Lebih menonjolkan kepentingan individu, partai dan daerah ketimbang kepentingan masyarakat, bangsa dan negara," katanya. FRI pada kesempatan itu juga mengimbau berbagai pihak untuk bersatu menggalang kekuatan dalam memberantas korupsi secara konsisten dan berkesinambungan dengan komitmen yang tinggi agar Indonesia tidak mengarah menjadi negara yang gagal. "Kiprah KPK sudah ditanggapi positif oleh masyarakat, bahkan menumbuhkan harapan baru terciptanya bangsa Indoneia yang terbebas dari korupsi. Namun sekarang yang perlu diwaspadai adalah suara-suara dan gerakan perlawanan sebagai cerminan dari `corruptors fight back`," katanya. Selain itu FRI juga menuntut agar dalam proses perumusan undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah (PP) diwajibkan ada naskah akademik yang dikaji secara mendalam oleh para ilmuwan kampus dan kalangan profesional yang telah teruji keandalan dan integritasnya. "Saat ini ditengarai munculnya banyak masalah yang berkaitan dengan proses penyusunan dan penetapan UU karena kurangnya kajian ilmiah yang dilakukan secara independen oleh pihak yang berkompeten," katanya. FRI juga menyerukan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat segera mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan utuk mencegah semakin rusaknya bumi khususnya yang berkaitan dengan ketersediaan air, ketahanan pangan dan konservasi energi. Kasus `illegal logging`, alih fungsi lahan dan pengurasan sumber daya alam menunjukkan kurangnya kepekaan pejabat yang berwenang dan elit politik di puncak kekuasaan terhadap masalah besar yang berkaitan dengan keseimbangan ekologis. "Musibah yang menimpa rakyat berupa banjir, longsor, kekeringan dan lumpur panas bukan merupakan bencana alam, melainkan bencana akibat perbuatan manusia," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008