Jayapura (ANTARA News) - Pemerintah memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2007 tentang larangan penggunaan lambang-lambang daerah yang sama dengan lambang-lambang kelompok separatis. Hal itu disampaikan salah seorang tokoh perempuan Papua, Heemskercke Bonay di Jayapura, Kamis menanggapi penolakan pemberlakuan PP Nomor 77 Tahun 2007 oleh sekelompok warga masyarakat Papua yang disampaikan pada kesempatan demonstrasi di halaman Kantor DPR Papua pada Rabu (17/9) "Patut diketahui bahwa PP Nomor 77 Tahun 2007 itu berlaku secara nasional, mulai dari Sabang sampai Merauke dan dari Sangir-Talaud sampai Rote-Ndao. Jadi, bukan hanya untuk Papua. PP tersebut lahir untuk memperkuat pilar keutuhan NKRI dan semua anak bangsa berkewajiban melaksanakan PP tersebut demi persatuan dan kesatuan nasional," tegas Heems. Putri sulung Eliezer Yan Bonay, Gubernur pertama Irian Barat (1963-1965) yang dijuluki gubernur integrasi Papua itu mengatakan, para pemimpin Papua telah menerima PP tersebut dan telah pula meminta pemerintah pusat agar PP itu dilaksanakan di tanah Papua secara persuasif. Pemerintah Provinsi Papua pun telah menyarankan pemerintah pusat agar PP tersebut disosialisasikan secara terbuka dan menyeluruh kepada segenap lapisan masyarakat Papua. Heems yang juga adalah salah seorang deklarator Paguyuban Pejuang Pembebasan Irian Barat ini mengatakan, para pengurus dan anggota paguyuban telah menolak secara tegas keinginan sekelompok warga di Papua yang memaksakan kehendak untuk menjadikan bintang kejora sebagai lambang daerah Papua. "Bintang kejora itu diketahui sebagai lambang separatisme Papua sehingga harus ditolak. Kita harus sepakat pada satu lambang lain yang tidak memecah-belah persatuan dan kesatuan anak-anak bangsa di tanah Papua," tegas Heems. Berdasarkan PP Nomor 77 Tahun 2007 itulah maka pemerintah melarang bintang kejora dijadikan lambang daerah Papua. Dengan demikian semua warga Negara Indonesia memiliki kewajiban moral untuk mematuhinya. Heems mengatakan, persoalan di Wamena itu merupakan urusan dalam negeri Indonesia dan Indonesia merupakan negara berdaulat sehingga tidak pada tempatnya kita melibatkan PBB atau negara lain untuk menyelesaikan urusan dalam negeri Indonesia. Sejak tahun 1963 PBB mengakui seluruh tanah Papua secara sah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI sehingga semua permasalahan di tanah Papua merupakan urusan intern Indonesia. "Tidak ada alasan atau dasar hukum apapun untuk meminta PBB ikut campur tangan menyelesaikan permasalahan dalam negeri Indonesia. Dengan demikian, penyelesaian kasus kematian Otinus Tabuni di Wamena merupakan urusan aparat penegak hukum Indonesia. Kiranya kita tidak menginternasionalisasikan permasalahan di Papua untuk kepentingan politik tertentu," tegasnya. Upaya menginternasionalisasikan permasalahan di tanah Papua hanyalah membuang-buang waktu dan energi yang nantinya berujung pada konflik horizontal yang tak terelakkan yang menelan korban manusia dan harta benda. "NKRI yang wilayahnya dari Sabang sampai Merauke dan dari Sangir-Talaud sampai Rote-Ndao sudah merupakan harga mati yang siap dipertaruhkan hingga titik darah penghabisan," kata Heems. Menurut dia, pada 4 Mei 1963, Presiden Soekarno di Kota Baru (sekarang Jayapura) berpidato di tengah rakyat Papua bahwa pada 1 Mei 1963 Bendera kebangsaan Indonesia Merah-Putih telah berkibar di tanah Papua. "Tepat 1 Mei 1963 tatkala saya berada di tempat lain, saya mendapat laporan dari Bapak Dr Sobandrio,Wampa untuk urusan Irian Barat, bahwa pada saat itu bendera UNTEA sudah diturunkan, bendera Sang Merah Putih yang kita cintai telah dinaikkan sebagai bendera tunggal di Irian Barat. Sejak hari ini, saya laporkan kepada segenap rakyat Indonesia bahwa Republik Indonesia sudah utuh kembali yaitu antara Sabang sampai Merauke," kata Heems mengutip Pidato Presiden Soekarno ketika berkunjung ke Irian Barat, 4 Mei 1963.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008