Semarang (ANTARA News) - Rencana pengesahan RUU Pornografi dan Pornoaksi mengundang sejumlah penolakan dari berbagai elemen masyarakat, sebab kebijakan tersebut dinilai merupakan intervensi terhadap kebebasan dan kehidupan pribadi warga negara. Hal tersebut diutarakan Gareng Anindityo, seniman dan ketua organisasi Teater Ortodok Universitas Diponegoro (Undip) Semarang di Semarang, Kamis. "RUU jelas akan mengancam eksistensi budaya Indonesia dan secara khusus membatasi ruang gerak berekspresi bagi masyarakat. Sebab, ada `pemaksaan` pemahaman terhadap sebuah nilai sosial. Ini jelas menimbulkan kerugian konstitusional karena melanggar UUD bahwa kekhasan dan kebudayaan daerah dilindungi UU," katanya. Selain itu, dalam lingkup global RUU yang rencananya akan disahkan 23 September 2008 berlawanan dengan deklarasi HAM PBB yang menentang ketentuan yang mengakibatkan timbulnya perlakuan diskriminatif atas dasar agama, status sosial, warna kulit, dan jenis kelamin. Ia menambahkan, RUU ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena pihak yang paling disalahkan atas pornografi adalah perempuan. Menurut dia, ada kemungkinan RUU dibuat bukan untuk memberantas pornografi, namun untuk memuluskan proyek ideologisasi tertentu. Polarisasi ideologi dan politik yang tidak sehat. Isu pornografi menjadi "kendaraan politik" untuk menorehkan prestasi kelompok tertentu untuk meraih simpati masyarakat yang tidak mengetahui haknya telah direnggut. Sebuah nilai plus bagi mereka untuk meraih peluang pada Pemilu 2009. Sementara itu, AD Wicaksono, S.H., pengamat hukum dari Universitas Diponegoro mengatakan, dari segi hukum RUU ini masih mengundang kontroversi. "RUU Pornografi memberi kewenangan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan kesewenang-wenangan kelompok tertentu," katanya. RUU Pornografi menyertakan soal kewenangan masyarakat untuk berperan serta dalam pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi tersebut. Anarkisme bisa terjadi karena akan memunculkan tindakan main hakim sendiri oleh kelompok yang merasa benar dan punya hak untuk menghukum. Ia menyarankan, jika memang akan disahkan, hendaknya peran serta masyarakat harus benar-benar dibatasi pada pencegahan, seperti pelaporan kepada penegak hukum dan tidak masuk pada penindakan. Sebab, masalah penindakan adalah kewajiban dan kewenangan aparat penegak hukum dan bukan bagian dari tugas masyarakat, kata Wicaksono.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008