Jakarta (ANTARA News) - Krisis keuangan global yang kini menjalar ke Rusia sehingga negeri ini dihantam krisis keuangan terburuk sejak 1998 akan memperkuat posisi kelompok garis keras Rusia yang selama ini menginginkan Rusia kuat sambil menjaga jarak dari Barat. Diperkuat sukses militer di Georgia di mana tentara Rusia dengan amat mudah menaklukan musuh-musuh proBarat mereka, golongan garis keras Rusia mungkin akan mengambil kesempatan dari bergolaknya pasar keuangan dengan menyebut kapitalisme Barat tidak cocok dengan Rusia. "Orang yang ingin menarik Rusia menjadi negara statis telah diuntungan oleh krisis ini," kata Chris Weafer, kepala analis pada lembaga pialang lokal Uralsib. "Mereka akan berkata, karena situasi ekonomi global bergerak keterlaluan, kita memerlukan BUMN-BUMN superkuat. Gagasan ini akan meminggirkan para reformis sekaligus mengubah lanskap politik Rusia." Saat otoritas keuangan Rusia menutup dua bursa terkemukanya gara-gara bergugurannya harga saham, seorang politisi senior Rusia berjabat tangan mesra dengan musuh AS, Presiden Venezuela Hugo Chavez. Deputi Perdana Menteri Igor Sechin, anggota kelompok garis keras Rusia dan sekutu dekat PM Vladimir Putin, menyerahkan buku biografi tokoh revolusioner Kuba Fidel Castro seraya menyebut Venezuela sebagai sekutu kunci Rusia. Sebaliknya, Deputi Pertama PM Igor Shuvalov, seorang ekonom liberal dalam pemerintahan Rusia, hampir selalu bungkam sejak pasar modal diterjang gelombang panik. Rekannya di kabinet, Menteri Keuangan Alexei Kudrin telah melancarkan sejumlah langkah yang justru berperan dalam membangkrutkan pasar modal Rusia belakangan ini. "Rusia adalah korban dari kekeliruan yang dibuat Kudrin," demikian suratkabar Nezavisimiya Gazeta seraya menyebut Kudrin sebagai otak dibalik pelarian modal Rusia. Para komentator Rusia tak pernah lupa melancarkan kritik pedas pada Barat yang tegas mereka sebut sebagai aktor dibalik krisis keuangan Amerika Serikat. "Amerika menjadi lebih berbahaya bagi dunia ketimbang tumbukan elektron (bom atom)," demikian harian Izvestiya di halaman depannya. Sementara Presiden Dmitri Medvedev menuduh agenda reformasi ekonomi pasar bebas dan liberal telah mengantarkan Rusia berperang dengan Georgia dan berada dibalik pengalihan aset negara ke swasta hingga lebih dari 130 miliar dolar AS. Krisis keuangan Rusia di mana harga saham jatuh hingga 60 persen dan meletupnya sistem perbankan negara itu faktanya belum melukai ekonomi Rusia yang tumbuh tujuh persen tahun ini. Bursa saham sendiri dianggap tidak penting oleh kebanyakan warga Rusia yang umumnya tak memiliki saham dan dana pensiun. "Jika pun busra saham Rusia mengering, maka hanya sedikit Rusia yang peduli," demikian komentar lembaga pengkajian swasta AS, Straftor. Tapi situasi ini akan berubah cepat begitu orang Rusia panik menarik dananya di bank-bank seperti mereka lakukan beberapa tahun lalu. "Prioritas terbesar kini adalah mencegah penarikan dana dari bank-bank," kata Weafer. Departemen Keuangan dan bank sentral telah mengucurkan sepuluhan miliar dolar AS untuk menyangga sistem perbankan namun sejumlah analis percaya bank-bank asing akan menarik dananya dari Rusia untuk diparkirkan di negara asalnya. "Andai Putin mendengar modal Rusia telah ditarik keluar demi menolong bank-bank Barat yang sempoyongan karena krisis, anda tahu sendiri apa reaksinya nanti," kata seorang analis yang menolak menyebutkan namanya. Arus modal dipastikan akan diawasi ketat oleh Rusia. Faksi garis keras di Kremlin telah lama mendesak Rusia untuk mengadopsi pola penanganan politik dan ekonominya sendiri tanpa tergantung Barat dan menyebut keamanan sebagai kunci bagi stabilitas ekonomi. Karena merasa memiliki likuiditas yang sangat cair, raksasa minyak Rusia Rosneft yang diketuai Sechin minggu lalu telah mengeluarkan 22 miliar dolar AS untuk membeli saham sebuah perusahaan minyak yang menjadi rivalnya. Komentator ekonomi pada Kantor berita resmi RIA Novosti Vlad Grinkevich bahkan menganalisis lebih jauh krisis keuangan global ini. "Para sosiolog dan sejarawan percaya bahwa krisis keuangan kali ini adalah bukti kebenaran prediksi bakal ambruknya imperium Amerika," tulis Vlad. "Ada banyak contoh dalam sejarah bahwa imperium-imperium global besar yang bersatu karena ikatan bahasa, ideologi dan agama, akhirnya ambruk oleh kerumitannya sendiri," demikian Vlad. (*)

Pewarta: Michael Stott (Reuters)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008