Semarang (ANTARA News) - Tertangkapnya Mohammad Iqbal, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan dugaan penerimaan suap membuktikan bahwa korupsi bisa terjadi di mana saja baik di kalangan pemerintahan, swasta hingga lembaga independen. Padahal KPPU adalah salah satu lembaga independen yang dibentuk oleh DPR yang dikenal sangat kredibel dan pembentukan dilakukan karena ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem birokrasi pemerintah, kata Iwan Arianto,S.I.P., pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang di Semarang, Jumat. Mantan aktivis HMI ini mengatakan, kasus korupsi yang menghinggapi birokrasi di negeri ini termasuk institusi pendukungnya seperti KPPU merupakan kejahatan terorganisasi dan dilakukan oleh pengambil keputusan dari institusi legal. M.Iqbal ditangkap pada Selasa (16/9), sekitar pukul 18.20 WIB di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini diduga menerima suap Rp 500 juta dari Billy Sindoro, Dirut First Media, sebuah perusahaan televisi berbayar. Namun menurut Iwan, pasti masih ada pihak lain yang terkait, di mana perkara suap itu tidak mungkin hanya dilakukan satu orang. Ini berawal dari kolusi. Dalam majelis paling tidak ada tiga sampai lima orang. Jadi, tidak mungkin hanya satu orang yang menerima suap. "KPK harus bisa mengungkap keterlibatan anggota-anggota KPPU lain dan mengembangkan kasus kepada perkara-perkara lainnya yang pernah ditangani KPPU," ujarnya. Kasus ini merupakan suatu kenyataan bahwa ada suatu bentuk kejahatan yang dilakukan orang kuat dalam kekuasaan dan ekonomi. Dengan kedudukannya, KPPU, DPR juga pejabat BI dan institusi lain merasa sombong dan memiliki kuasa untuk melakukan segala sesuatu diatas kepentingan rakyat. Beberapa kasus korupsi yang terungkap di berbagai lembaga negara mengisyaratkan tidak ada lagi lembaga yang bisa dipercaya untuk melaksanakan tugas kenegaraannya dengan bersih. Terlepas dari itu tindakan pribadi atau institusi, sudah saatnya dalam rencana pemerintahan berikutnya ke depan seleksi bagi anggota suatu komisi tertentu harus diperketat melalui pengawasan KPK dan DPR. "Secara sistem dan mekanisme sebenarnya institusi-instusi ini cukup berperan bagi kepentingan negara dan dibentuk atas kepercayaan rakyat. Mengenai pembubaran, ini bukan merupakan jalan ke luar sebab tindakan itu bukan bagian dari penyelesaian masalah tetapi terkesan menghindari masalah," katanya. Ia menambahkan bahwa yang dibutuhkan adalah penindakan tegas untuk meruntuhkan kesombongan mereka dan menciptakan efek jera dan takut untuk korupsi. Penanganan kolusi dan korupsi oleh semua penegak hukum di negeri ini harus dilakukan secara bersih, proper, mengikuti prosedur acara yang benar, dan dengan hati yang amanah. Tetapi jangan hanya karena ingin mengejar target setoran perkara, agar dipuji masyarakat atau populer, semua orang ditangkapi dan diperiksa. Pemeriksaan harus benar-benar transparan dan objektif. Ini merupakan kesempatan pemerintah bersama KPK dan institusi hukum lainnya untuk mementahkan pesimisme yang telah terbentuk di benak masyarakat tentang penghukuman orang-orang kuat pemerintah yang terbukti bersalah. Selama ini sudah menjadi rahasia umum di mana para koruptor yang memiliki jabatan tidak pernah tertangkap penegak hukum dan tidak pernah mempertanggungjawabkannya dengan menjalani hukuman. "Sikap tegas perlu diambil terhadap penyelenggara negara yang korup. Apa pun alasannya, menerima uang suap tidak bisa dibenarkan. Gaji yang tidak mencukupi bukanlah alasan memberikan toleransi kepada mereka untuk menerimanya. Sebab jika mereka tahu diri dan mau melihat ke bawah masih banyak masyarakat yang kehidupannya lebih memprihatinkan," kata Iwan menegaskan.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008