Jakarta (ANTARA News) - Hancurnya sektor keuangan dan kebangkrutan beberapa bank dan lembaga pembiayaan raksasa membuat Amerika Serikat (AS) kini tak bisa lagi jadi kiblat dunia. Krisis keuangan di negara adidaya itu telah memaksa bank sentral Amerika Serikat (The Fed) mengucurkan lebih dari 600 miliar dolar AS untuk menenangkan pasar. Bersama bank sentral Inggris yang menyumbang 10 miliar dolar, bank sentral Jepang (60 miliar dolar), bank sentral Eropa (110 miliar dolar), bank sentral Swiss (sampai 27 miliar dolar), dan bank sentral Kanada (10 miliar dolar), The Fed (Federal Reserve) juga mengguyur dana sampai 300 miliar dolar. Untuk sementara waktu, menurut Andrew Busch dari BMO Capital Markets, langkah beberapa bank sentral ini menstabilkan sistem keuangan dunia. Sayangnya, kredit macet sektor perumahan yang sudah berlangsung lebih dari setahun ini kembali menggerogoti perekonomian AS. Dua raksasa lembaga pembiayaan Amerika Serikat, Fannie Mae dan Freddie Mac, juga menghadapi masalah, sehingga harus diambilalih tanggung jawabnya oleh pemerintah. Untuk itu, Departemen keuangan Amerika Serikat perlu menyuntikkan dana ke masing-masing perusahaan sebesar 100 miliar dolar. Kedua lembaga pembiayaan perumahan itupun harus membayar kewajibannya dengan bunga 2,25 persen. Guncangan yang dipicu krisis di sektor pembiayaan perumahan ini juga menimpa lembaga keuangan Bear Straen dan menyebabkan institusi ini mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan mereka itu menyusul langkah JP Morgan yang terpaksa menurunkan nilai aset berbasis kredit perumahan senilai 1,5 miliar Juli lalu. Perusahaan itu kini tengah mencari pasangan untuk menyelamatkan statusnya dengan "memacari" Wachovia Corporation dan BUMN China CITIC. Namun pukulan yang paling telak harus diterima AS ketika Lehman Brothers awal pekan ini terpaksa menyatakan diri bangkrut. Bank investasi ini mengikuti jejak Merill Lynch, yang beruntung tertolong karena diakuisisi Bank of America. Serangkaian langkah penyelamatan ini ternyata belum cukup, karena Fed juga harus membantu raksasa asuransi AIG senilai 85 miliar dolar, menyusul kebangkrutan Lehman Brothers. Bagi dunia, kebangkrutan lembaga pembiayaan ini tidak sekedar tutupnya sebuah perusahaan yang kemudian dengan cepat bisa dilupakan. Apalagi, Lehman Brothers dan Merill Lynch adalah lembaga keuangan dunia yang selama ini banyak berkiprah di pasar keuangan internasional. Dampak dari kebangkrutan mereka dipastikan telah menyirat kekhawatiran akan semakin besarnya guncangan di pasar keuangan dunia. Kekhawatiran yang coba ditentramkan Menkeu Sri Mulyani Indrawati dengan menyatakan pelaku pasar di Indonesia tidak perlu panik. Di depan anggota DPR, dia bahkan meminta DPR melakukan kajian terus menerus untuk mencari "obat mujarab" yang mampu mengantisipasi krisis keuangan dunia ini, bersama pemerintah. Apalagi, katanya, gejolak pasar uang dan bursa saham dunia ini berpotensi mempengaruhi nilai tukar dan suku bunga perbankan di dalam negeri. Makin rumit Dengan makin rumitnya permasalahan sektor keuangan di dunia, Indonesia mau tidak mau dituntut mampu bergerak cepat untuk mengantisipasi dampak lanjutannya. Harus diingat bahwa AS tidak hanya menghadapi kisruh di sektor keuangan, tetapi juga melemahnya perekonomian negara itu. Kondisi perekonomian AS yang terhuyung-huyung itu berpotensi menyebabkan arus ekspor Indonesia semakin kecil karena kemampuan pasar tujuan ekspor yang mengerut. Sementara itu, kesibukan AS yang tengah melaksanakan pemilihan presiden juga menjadikan masyarakatnya terbuai isu dan permainan politik kandidat presiden yang dikemas secara profesional. Meskipun kandidat dari Republik John McCain dalam kampanyenya menjanjikan krisis ini tidak akan terulang, namun Barrack Obama dari Demokrat justru menyalahkan republik. Dia menuduh para pemimpin dari Republik telah menyeret Amerika Serikat dalam krisis ekonomi terburuk sejak perang dunia pertama. Meski menyinggung persoalan krisis ekonomi dan keuangan, namun dipastikan bahwa rakyat Amerika Serikat akan lebih asyik mengikuti kampanye atau bencana alam akibat badai dan topan di kawasan tenggara negara itu. Musim badai yang mulai mendera AS sejak awal September ini juga akan mengurangi kemampuan mereka memproduksi minyak. Masalahnya, setelah Badai Ike yang menghancurkan puluhan anjungan dan fasilitas pengolahan minyak negara itu, kita tidak pernah tahu badai dan topan apalagi yang akan menghampiri Teluk Meksiko dan menghantam pusat produksi minyak AS di kawasan itu. Kondisi itu mau tidak mau pasti akan menyebabkan harga berfluktuasi semakin kencang karena perekonomian Amerika Serikat yang melemah. Dampaknya, seluruh dunia, terutama negara yang tergantung pada impor minyak untuk memenuhi kebutuhan energinya akan mengalami kesengsaraan. Indonesia kini termasuk salah satu di antaranya. Kemana berlabuh Dengan kondisi buruk yang sedang menimpa AS, kemana Indonesia akan berlabuh untuk melalui krisis perekonomian dunia dengan menggenjot ekspor dan menarik investasi asing. Masalahnya, pilihan kini semakin terbatas dengan kesibukan Jepang dan Kawasan Uni Eropa menentramkan pasar keuangannya. Tidak mudah mengandalkan mereka, meski selama ini keduanya juga pasar potensial bagi Indonesia. Negara yang memiliki kinerja ekonomi yang baik pun menjadi semakin terbatas dan China jadi kandidat terkuat. Negara dengan penduduk miliaran jiwa ini merupakan pasar yang menarik untuk digarap. Masalahnya, China adalah raksasa yang baru bangun dari tidurnya. Selain perusahaan raksasa yang mulai menggeliat dan berekspansi ke seluruh dunia, mereka juga amat tergantung pada usaha kecil dan menengah untuk mendukung kinerja ekonominya. Karena itu, China berbeda dengan AS, Jepang, maupun Uni Eropa yang sudah merelokasi banyak industrinya ke negara berkembang dan lebih berkonsentrasi menggarap sektor jasa. Dengan kondisi seperti itu, sanggupkah industri Indonesia bersaing dan masuk ke pasar negara itu. Apalagi, sudah bukan rahasia jika sampai kini sudah banyak barang buatan China yang membanjiri pasar Indonesia. Pasar non tradisional di kawasan Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin dan tentu saja Asia Tengah bisa menjadi alternatif. Namun Indonesia dituntut memiliki kemampuan manajemen dan dana besar untuk mendukung perdagangan yang sistem keuangannya belum terbentuk dan stabil. Pekerjaan rumah inilah yang harus diselesaikan pemerintah. Masalahnya, Malaysia dan terutama China sudah jauh meninggalkan Indonesia untuk mengarap pasar baru ini. (*)

Oleh Oleh Arief Pujianto
Copyright © ANTARA 2008