Jakarta (ANTARA News) - "Greed" adalah salah satu kata yang paling sering disebut media Barat tatkala mereka mengupas krisis keuangan global, salah satunya majalah Time yang menuliskan besar-besar kata itu dalam sampul edisi terbarunya --The Price of Greed (Buah dari Keserakahan)--. "Greed" yang dalam Bahasa Indonesia berarti serakah atau tamak atau loba ditengarai sebagai faktor terkuat yang membuat seseorang menjadi tidak mengenal kata puas meski ratusan triliun rupiah telah mereka garuk dan sistem keuangan dunia lumpuh akibat ulahnya. "Greed" membuat pelaku pasar menganggap sepi hamburan miliaran dolar AS milik rakyat AS dan para pembayar pajak seluruh dunia ke pasar uang hanya untuk menghentikan akibat yang ditimbulkan oleh keserakahan mereka. Bagaimana tidak, American International Groups Inc (AIG) yang biasanya mengurusi asuransi risiko biasa malah memasuki bisnis penalangan risiko akibat transaksi derivatif --khususnya transaksi swap kredit gagal bayar (CDS)-- yang bukan lahannya. Richard Fuld, bos Lehman Brothers, malah lebih gila. Ia menjerumuskan bank investasi yang berperan sebagai media antara investor dengan perusahaan di pasar modal menjadi sebuah lembaga yang bermain pula di pasar properti, termasuk menyalurkan kredit pada nasabah yang tidak sehat keuangannya. Sesuatu yang juga dilakukan Fannie Mae dan Freddie Mac. Saat Fannie Mae dan Freddie Mac oleng gara-gara para nasabah properti "ngemplang" disusul Lehman Brothers dan Merrill Lynch yang ikut guncang, AIG yang menalangi risiko kredit-kredit gagal bayar (default) perusahaan-perusahaan itu pun ikut goyah hingga memaksa otoritas keuangan turun tangan. Laksana krisis moneter 1997 di Indonesia, sengatan krisis mencapai semua simpul perekonomian AS sampai orang-orang paling optimistis di negeri itu tidak lagi dapat berpura-pura menyebut ekonomi AS baik-baik saja. Bahkan, dalam pernyataan terbarunya hari ini, Presiden George Bush tak lagi sungkan menyebut krisis keuangan kali ini dapat menjerumuskan AS ke resesi berkepanjangan. Sejumlah orang kaya yang sangat berpengaruh dalam perekonomian AS dan semula percaya AS tak akan runtuh karena memiliki fundamental ekonomi yang kuat pun mulai goyah keyakinannya. "Saya sekarang percaya bahwa kita tengah berada dalam neraka," kata mantan bos General Electric Jack Welch. Ekspor Buah ketamakan para predator pasar keuangan ini sekarang menjalar melebihi kandangnya, yaitu mengancam kehidupan orang-orang miskin seluruh dunia. Adalah Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan orang-orang superkaya dunia seperti bos Microsoft Corporation, Bill Gates, yang menyatakan krisis keuangan global bakal makin meminggirkan orang miskin. Tak bisa dipastikan apa mereka sedang mengancam, mengingatkan atau menarik kepedulian dunia terhadap bahaya krisis keuangan global. Yang jelas, magnitudo efek krisis keuangan di AS memang nyaris tak bertepi, tergambar dari rencana "bailout" terakhir 700 miliar dolar AS yang resmi didesakkan Presiden Bush kepada Kongres hari ini. Padahal, ribuan triliun rupiah yang dialirkan pemerintah AS dan bank-bank sentral seluruh dunia untuk menyehatkan pasar keuangan, justru dapat menggoyang sistem pembayaran internasional, sekaligus keseimbangan neraca perdagangan antarbangsa. Bagaimana tidak, dana yang seharusnya untuk membiayai impor kini dipakai untuk menyehatkan sistem keuangan yang ternyata tak kunjung sehat meski sejak 16 Maret 2008 saat pemerintah AS mendorong JP Morgan Chase mengakuisisi Bear Stearns, sekitar 900 miliar dolar AS (Rp8.370 triliun) telah dibenamkan pemerintah AS umtuk merehabilitasi sistem keuangan yang sedang oleng ini. Jika negara-negara maju itu menjadi tidak lagi bersedia membiayai impornya karena uang telah tersedot ke pasar uang, maka yang juga rugi adalah negara-negara eksportir yang berharap dolar AS atas barang yang dikirim mereka ke negara-negara maju itu. Bukan itu saja, mengeroposnya daya tahan sistem keuangan Amerika Serikat dan sejumlah negara membuat dana-dana Barat di luar negeri ditarik untuk menyehatkan perusahaan induknya yang berarti investasi riil pun menguap kembali ke negeri asal investor. Kalau sudah begitu, untuk berharap investasi baru datang ke negara-negara berkembang pun menjadi lebih sulit dibanding sebelumnya. "Negara-negara berkembang akan terluka jika permintaan terhadap produk ekspor mereka dan arus investasi jatuh," kata Presiden Bank Dunia Robert Zoellick seperti dikutip Reuters (25/9). Dalam wawancaranya dengan Stasiun TV Channel 4, Inggris, Zoelick menilai dampak krisis keuangan terhadap neraca keuangan negara-negara berkembang sudah mulai terlihat dengan jomplangnya pasar modal dan menurunnya kredit sektor perusahaan karena likuiditas dunia memang mengering. Terang saja, mengutip Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss Kahn, total ongkos yang mesti dikeluarkan untuk mengatasi krisis keuangan global telah meningkat dari perkiraan semula satu triliun dolar AS (Rp9.300 triliun) menjadi 1,3 triliun dolar AS (Rp12.090 triliun). Pada spektrum lebih luas, krisis ini telah meningkatkan kerisauan mengenai bakal melambatnya kegiatan ekonomi sekaligus dapat menghajar keseimbangan arus suplai dan permintaan karena produksi yang ada tak bisa lagi diserap pasar ekspor yang memang lagi sakit. Ekonomi pun mengalami perlambatan. "Jika perlambatan ekonomi sudah sampai pada tingkat amat serius maka ekspor negara-negara berkembang akan terancam, (padahal) sebagian besar investasi mereka dibenamkan pada sektor-sektor produksi berorientasi ekspor," kata Robert Zoelick. Akibatnya, untuk tahun 2008 saja, mengutip Dana Moneter Internasional (IMF), perekonomian dunia diprediksi mengerut menjadi hanya 3 persen dari 5 persen yang dicapai tahun lalu. Orang Miskin Klaim tak kalah merisaukan datang dari bos Microsoft, Bill Gates, yang menyebut krisis keuangan global akan menurunkan dukungan negara-negara Barat dalam program-program pengentasan kemiskinan, memerangi kelaparan dan penanggulangan wabah penyakit. Entah merasa menjadi bagian paling dipojokan karena krisis keuangan ini, seperti halnya Jack Welch di atas, Bill Gates meradang karena merasa Barat bertindak sendirian sementara negara-negara yang ekonominya sedang berkembang kurang berkomitmen memerangi kemiskinan. "Ada negara kaya dan ada negara berperekonomian berkembang, tapi simpul yang bisa mempertemukan keduanya tak bisa dipahami. Saat yang satu menderita, seharusnya itu tidak menjadi keuntungan bagi yang lainnya," kata Bill Gates seperti dikutip Bloomberg (25/9). Orang-orang seperti Bill Gates mungkin mengkhawatirkan krisis keuangan global akan membuat alokasi dana bagi orang miskin berkurang karena para pemodal dan sektor korporat akan lebih memprioritaskan dana untuk menyelamatkan perusahaan. Mereka juga tampak merasa bahwa kejatuhan sektor finansial bakal memengaruhi bisnisnya sehingga mereka pun aktif menyelamatkan pasar. Bos Berkshire Hathaway Inc, Warren Buffet, yang pernah menilai miring transaksi spekulatif ala perdagangan derivatif ekuitas, sampai turun tangan mengakuisisi Goldman Sachs, salah satu dari dua bank investasi raksasa di Wall Street yang selamat karena menempuh langkah drastis berubah wujud menjadi bank umum. Tak pelak lagi, mereka telah memusatkan perhatiannya pada bagaimana sistem keuangan AS dan keseluruhan sistem perekonomian AS bisa selamat dari resesi sehingga kampanye-kampanye sosial dari pihak korporat pun memundur. Padahal, Keluarga Buffet dan Bill Gates adalah termasuk para donatur sekaligus penggerak aktif kampanye pengentasan kemiskinan yang digagas PBB melalui Program Pangan Dunia (WFP). PBB sendiri mengkhawatirkan dampak krisis keuangan terhadap kehidupan si miskin, karena naiknya harga bahan pangan setahun lalu saja telah membuat jumlah orang miskin bertambah 75 juta orang sehingga kini total penduduk miskin dunia mencapai 923 juta. "Tahun depan penduduk miskin akan bertambah 100 juta orang," kata Direktur Eksekutif WFP Josette Sheeran. (*)

Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008