Jakarta (ANTARA News) - Indonesia pada 2008 mengalami kemajuan dalam hal pemberantasan korupsi, setidaknya hal itu terindikasi dalam peningkatan nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari 2,3 pada 2007 menjadi 2,6 pada 2008. IPK merupakan gambaran tentang tingkat korupsi secara global yang terdapat di 180 negara, dengan skor yang diperoleh berdasarkan survey sejumlah lembaga independen. Nilainya berkisar dari 10 (paling bersih) hingga 0 (paling korup). Negara yang skor IPK-nya paling tinggi pada 2008, yaitu 9,3 adalah Denmark, Selandia Baru, dan Swedia. Sedangkan negara yang skor IPK-nya paling rendah, yaitu 1,3 atau kurang dari itu, adalah Somalia, Myanmar, dan Irak. IPK dikeluarkan setiap tahun oleh LSM Transparency International (TI) yang berpusat di Jerman dan memiliki cabang di 99 negara, termasuk Indonesia. Menurut Ketua Dewan Pengurus TI Indonesia, Todung Mulya Lubis, peningkatan skor IPK Indonesia itu menunjukkan pemerintah telah mendapat apresiasi yang tinggi dari para responden. Para responden, ujar Todung, mulai melihat keseriusan pemerintah dalam menangani kasus korupsi, terutama tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyeret sejumlah pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di pusat maupun daerah. Meski banyak kasus korupsi yang ditangani KPK terkait dengan uang negara, tetapi Ketua KPK Antasari Azhar mengatakan, korupsi kerap dipersepsikan kurang tepat oleh sebagian orang, yaitu hanya dikaitkan dengan uang yang termasuk kerugian negara. "Padahal, hanya beberapa pasal dalam UU Korupsi yang ada tercantum kata-kata kerugian negara, sedangkan sebagian besar pasal lebih menyangkut tentang perilaku," kata Antasari. Untuk itu, ujar dia, KPK siap untuk memberantas berbagai jenis korupsi yang tidak hanya terkait dengan kerugian negara, tetapi juga dengan perilaku korupsi lainnya, seperti tindakan suap yang tidak terkait dengan keuangan negara. Dikatakannya, KPK tidak hanya dalam lingkup pemberantasan, tetapi juga dalam segi pencegahan tindak korupsi. Karenanya, ujar dia, wajar saja bila KPK misalnya mengirimkan perwakilannya sebagai pengamat dalam sejumlah rapat penyusunan anggaran di DPR. "Kami tidak akan melanggar tata tertib DPR, kami hanya memonitor," kata Antasari. Ia juga menuturkan, KPK sejak sekitar enam bulan yang lalu juga telah membentuk Tim KSM (Koordinasi Supervisi dan Monitoring) yang akan datang ke berbagai daerah untuk memantau dan juga untuk melakukan perbaikan dalam pelayanan publik yang dilakukan oleh sejumlah lembaga pemerintah. Mengenai reformasi birokrasi, KPK juga bertekad untuk membantu melakukannya, seperti yang dilakukan lembaga tersebut di Departemen Keuangan, khususnya di bagian Bea Cukai. "Di masa depan kami juga sudah membicarakan mengenai reformasi birokrasi ini misalnya dengan Kejaksaan Agung," katanya. Reformasi birokrasi itu terkait dengan berbagai hal yang penting, misalnya dalam hal cara penyusunan anggaran agar dapat transparan dan tidak manipulatif. Sistem Berkaitan dengan reformasi di bidang anggaran, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengkubuwono X mengatakan, sistem anggaran yang diterapkan baik di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih baik diterapkan dengan menggunakan sistem "double-entry" untuk memperkuat segi pengawasannya. "Sekarang ini APBN dan APBD menggunakan sistem `single-entry` dan bukan `double-entry`," kata Sultan HB X. Padahal, menurut dia, dengan menggunakan sistem "single-entry", sistem pengawasan lebih lemah dibandingkan sistem "double-entry". Ia mencontohkan, dalam sistem "single-entry", anggaran 100 perak untuk membeli 10 pensil akan dikeluarkan begitu saja tanpa pernah tahu apakah penggunaannya benar-benar untuk 10 pensil. Sedangkan dengan sistem "double-entry", penggunaan anggaran 100 perak akan dipantulkan kembali bahwa benda yang dibeli adalah benar-benar 10 pensil dan bukan barang lainnya. Ia mencontohkan anggaran untuk tiket pesawat yang dipergunakannya untuk bolak-balik Yogyakarta-Jakarta akan dia laporkan kembali dan akan dikembalikan berikut kartu "boarding pass"-nya. Hal tersebut, menurut dia, untuk mencegah adanya pejabat yang mengaku menggunakan pesawat perusahaan A yang mahal padahal sebenarnya ia menggunakan pesawat perusahaan B yang lebih murah. Sultan juga menuturkan, di Provinsi DIY yang dipimpinnya telah berlaku sistem satu-atap sehingga tidak ada kepala daerah baik dari tingkat bupati hingga sekretaris daerah yang mengeluarkan semacam "katebelece" atau surat sakti untuk berbagai macam proyek. Belum maksimal Meski pemberantasan korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah menunjukkan kemajuan, tetapi Sekretaris Jenderal TI Indonesia Rizal Ramli mengatakan, upaya tersebut belumlah maksimal. Menurut Rizal, sejumlah kasus korupsi masih belum menyentuh pejabat negara yang berkuasa di tingkat pusat, antara lain dalam kasus aliran dana Bank Indonesia yang diduga diterima menteri, yakni Malam Sambat Kaban dan Paskah Suzetta. Belum lagi kasus lainnya, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan belum berhasilnya upaya pengembalian aset para koruptor di luar negeri yang diamanatkan dalam UN Convention Against Corruption (UNCAC). "Hal itu diperparah dengan belum adanya undang-undang yang mengatur perampasan aset sampai pengelolaan aset-aset hasil negara," kata Rizal. Untuk itu, Rizal juga mengutarakan harapannya agar Indonesia dapat belajar pemberantasan korupsi dari Korea Selatan yang menunjukkan lonjakan dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) selama dua tahun terakhir. "Satu-satunya negara yang menunjukkan kinerja IPK yang baik adalah Korsel, yang skor IPK-nya selalu meningkat sebanyak 0,5 selama dua tahun berturut-turut," katanya. Senada dengan Rizal, Ketua Dewan Pengurus TI Indonesia Todung Mulya Lubis juga percaya bahwa Indonesia bisa mengikuti jejak Korsel yang skor IPK-nya meningkat hingga sebanyak 0,5 poin. Hal tersebut, ujar Todung, dapat dicapai bila reformasi birokrasi benar-benar menyentuh sejumlah departemen dan lembaga pemerintahan lainnya. Pada saat ini, kata dia, baru lembaga pemerintah seperti Departemen Keuangan yang menunjukkan langkah reformasi birokrasi yang cukup berarti. "Saya ingin di masa mendatang, reformasi birokrasi juga menyentuh departemen lainnya seperti Departemen Kehutanan, Departemen Kesehatan, dan Departemen Pendidikan Nasional," katanya. Menurut Todung, sukar bagi Indonesia untuk mencapai skor 3,0 pada 2009, antara lain karena banyak elemen bangsa pada saat itu akan lebih berkonsentrasi pada perhelatan Pemilu. (*)

Oleh Oleh Muhammad Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2008