Kuala Lumpur (ANTARA News) - Krisis politik di Malaysia sejak pemilihan Maret dengan hasil yang memalukan koalisi Barisan Nasional telah membuat pasar saham tak berdaya, investasi asing terhambat dan prediksi pertumbuhan terganggu. Dan para pengamat ekonomi mengatakan sikap Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi yang masih tetap ingin mempertahankan kekuasaannya, sekalipun seruan pengunduran diri segera terhadapnya kian meningkat, menyebabkan belum munculnya kapan ketidakpastian akan berakhir. Abdullah telah menegaskan ia tak akan maju kembali sebagai pemimpin partai berkuasa dalam pemilihan internal tahun depan, namun begitu koaliasi juga menghadapi tantangan dari oposisi yang belum pernah terjadi sebelumnya Pemimpin opisisi Anwar Ibrahim mengatakan pihaknya kini memiliki jumlah anggota parlemen yang cukup untuk merebut kekuasaan. Prospek perubahan pemerintah yang kurang mulus, pertama kali dalam sejarah Malaysia yang telah diperintah koalisi Barisan Nasional sejak kemerdekaan pada 1957, membuat panik para penanam modal. Indeks Harga saham Gabungan Kuala Lumpur, yang mencapai rekor tinggi sepanjang masa 1.524 poin pada Januari lalu, anjlok menjadi 1.157 tak lama setelah pemilihan umum, dengan pemerintah yang berkuasa gagal memperoleh mayoritas dua pertiga kursi di parlemen untuk pertama kalinya. Pada 18 September, indeks terjun bebas ke rekor terendah dalam dua tahun 963, dan ditutup pada posisi 1.020,53 pada pekan lalu, di tengah kelesuan yang diperburuk oleh serangkaian berita buruk dari Wall Street. "Indeks cenderung terus menurun sejak pemilihan umum dan kami kira indeks akan tetap demikian sepanjang tak ada tanda-tanda situasi politik bakal mereda," kata Stephen So, analis senior pada perusahaan sekuritas lokal TA Securities. Tak ada harapan Dikatakannya, gejolak politik, ditambah dengan goncangan di pasar finansial AS, tidak memberikan "banyak harapan" bagi pasar untuk bangkit kembali pada akhir tahun ini. "Sentimen investor masih lemah dan dana-dana asing telah ditarik dari pasar. Skenario politik tentu saja yang membuat mereka menarik diri." Ekonomis utama Citigroup untuk Singapura dan Malaysia, Kit Wei Zheng, menyatakan situasi politik telah memaksa pemerintah untuk menempuh berbagai kebijakan yang tak berkelanjutan, sehingga membuat defisit anggaran kian melebar. "Bila Anda mengalami situasi politik yang tidak mantap, Anda terpaksa membuat janji-janji pro-rakyat (populis) untuk mengamankan kekuasaan," katanya kepada AFP. Anggaran 2009 Abdullah memberikan potongan pajak dan berbagai keringanan lainnya yang dirancang untuk memulihkan dukungan bagi koalisi yang terjepit dan mendorong pertumbuhan untuk menghadapi pelambatan ekonomi global. Menurut Kit, perubahan kebijakan yang diambil perdana menteri mengenai harga BBM, dengan dua kali melakukan penurunan harga dari kenaikan 41 persen pada Juni lalu, "bukan sinyal yang baik bagi para investor." "Selama situasi politik ini terus berlarut-larut, bahkan jika terjadi pemulihan global, Malaysia boleh jadi tertinggal sebagai tujuan investasi yang menarik," katanya. Sekalipun situasi begitu suram, prediksi pemerintah relatif tetap optimis. Deputi Perdana Menteri Najib Razak, yang pekan lalu mengambilalih jabatan menteri keuangan sebagai bagian peralihan kekuasaan, menyatakan pemerintah masih mengharapkan ekonomi akan tumbuh dengan 5,7 persen pada tahun ini.

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008