Oleh Edy M Ya`kub Jember (ANTARA News) - Masyarakat miskin di Jember, Jawa Timur, merasakan Idul Fitri tahun ini lebih istimewa lantaran mereka bisa menikmati hidangan lauk pauk yang menyajikan daging. Bagi mereka daging adalah lauk pauk yang istimewa karena belum pasti dinikmatinya setahun sekali. Pemandangan serupa juga dapat disaksikan di daerah sekitar Jember, seperti Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo. Bagaimana orang miskin bisa membeli daging, yang harganya menjulang saat Ramadan dan Idul Fitri? Mereka mendapatkan daging itu dari tradisi tompo`an atau tumpukan. Tompo`an adalah tradisi masyarakat untuk mendapatkan daging secara iuran. "Tradisi itu hanya ada di desa. Setiap menjelang lebaran selalu ada orang menyembelih sapi di desa-desa," kata Pak Sefi, warga Desa Suco Krajan, Mumbulsari, Jember. Menurut bapak dua anak yang sehari-hari menjadi tukang kayu itu, ada banyak cara untuk dapat menikmati daging bagi orang miskin seperti dirinya. "Kami ingin menyambul Idulfitri sebagai hari kemenangan yang tidak seperti hari-hari biasa, karena itu kami ingin ada daging sebagai hidangan lebaran," ucapnya. Caranya, seorang koordinator `tompo`an` seperti dirinya mengumpulkan 20-30 orang untuk arisan membeli sapi secara patungan selama satu tahun. "Saya sendiri mengkoordinir 25 orang untuk arisan membeli sapi seharga Rp5 juta dengan setiap orang membayar Rp200 ribu dalam setahun," tuturnya. Tapi, katanya, mereka hanya diwajibkan membayar Rp100 ribu dalam setengah tahun dengan cara mengangsur (mencicil) setiap minggu atau setiap bulan sesuai dengan kemampuan atau rezeki yang didapat. "Kalau sudah setengah tahun dan terkumpul Rp2,5 juta, maka uang itu diputar untuk modal usaha, misalnya usaha pupuk atau ada anggota yang pinjam untuk usaha," katanya. Hasilnya, katanya, keuntungan setiap bulan ditambahkan kepada arisan "tompo`an" itu sampai akhirnya bertambah terus hingga mencapai Rp5 juta. "Kalau kurang, maka tiap anggota tinggal menambah sedikit untuk sekedar mencukupi. Batas akhir pelunasan biasanya pada minggu pertama Ramadan," katanya. Bila sudah terkumpul, katanya, sapi yang dibeli secara patungan itu pun dipotong sehari menjelang lebaran, lalu dibagi rata dengan kira-kira setiap orang mendapatkan tiga kilogram daging. Lain halnya dengan warga Desa Mayang, Kecamatan Kalisat, Jember, Agus yang juga menjadi koordinator "tompo`an" di desanya. "Ada 20-an orang yang menjadi anggota tompo`an di desa kami. Mereka bebas membayar cicilan, apakah tiap minggu, atau tiap bulan, atau tapi mempunyai rezeki," katanya. Menurut petani di desanya itu, setiap anggota "tompo`an" hanya diwajibkan membayar Rp150 ribu dalam setahun untuk mendapatkan daging seberat dua kilogram per orang. "Tiap ada pengajian rutin pada setiap malam Juamt selalu ada anggota yang membayar tompo`an, tapi kalau belum punya uang juga tidak apa-apa, bahkan ada yang membayar dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai)," katanya. Sebagai koordinator, katanya, dirinya mendapatkan jatah kepala atau kaki sapi, sedangkan tulang, jerohan, dan sebagainya dibagi rata. "Pembagian secara rata itulah yang disebut tompo`an. Maksudnya, daging yang ada dibagi rata untuk seluruh anggota, kemudian tulang juga dibagi rata, termasuk jerohan juga begitu," katannya. Dengan cara begitu, kata bapak dua anak itu, maka setiap anggota akan mendapatkan jatah daging, tulang, jerohan, dan sebagainya dalam jumlah yang sama. "Pembagian yang ditumpuk-tumpukan untuk daging satu kilo, dua kilo, tiga kilo, kemudian tulang sekian kilo, jerohan sekian kilo, dan seterusnya itulah yang memumculkan istilah tompo`an," katanya. Walhasil, sistem gotong royong itulah yang membuat rakyat miskin dapat menikmati daging sebagai menu lebaran. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008