Jakarta, 12/10 (ANTARA) - Krisis finansial global tak terbendung lagi, kian hari terlihat bergerak kian "liar dan ganas". Interkoneksi sistem bisnis global yang saling terkait, membuat 'efek domino' krisis yang berbasis di Amerika Serikat ini, dengan cepat dan mudah menyebar ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Tak terkecualikan Indonesia. Krisis keuangan yang berawal dari krisis subprime mortgage itu merontokkan sejumlah lembaga keuangan AS. Pemain-pemain utama Wall Street berguguran, termasuk Lehman Brothers dan Washington Mutual, dua bank terbesar di AS. Para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia pun rontok. Menurut Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn di Washington, seperti dikutip AFP belum lama ini, resesi sekarang dipicu pengeringan aliran modal. Ia menaksir akan terdapat kerugian sekitar 1,4 triliun dolar AS pada sistem perbankan global akibat kredit macet di sektor perumahan AS. "Ini lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 945 miliar dolar AS," kata Strauss-Kahn. Hal ini menyebabkan sistem perbankan dunia saling enggan mengucurkan dana, sehingga aliran dana perbankan, urat nadi perekonomian global, menjadi macet. Hasil analisis Dana Moneter Internasional (IMF) pekan lalu mengingatkan, krisis perbankan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menyebabkan resesi. Penurunan pertumbuhan setidaknya dua kuartal berturut-turut sudah bisa disebut sebagai resesi. Sederet bank di Eropa juga telah menjadi korban, sehingga pemerintah di Eropa harus turun tangan menolong dan mengatasi masalah perbankan mereka. Pemerintah Belgia, Luksemburg, dan Belanda menstabilkan Fortis Group dengan menyediakan modal 11,2 miliar euro atau sekitar Rp155,8 triliun untuk meningkatkan solvabilitas dan likuiditasnya. Fortis, bank terbesar kedua di Belanda dan perusahaan swasta terbesar di Belgia, memiliki 85.000 pegawai di seluruh dunia dan beroperasi di 31 negara, termasuk Indonesia. Ketiga pemerintah itu memiliki 49 persen saham Fortis. Fortis akan menjual kepemilikannya di ABN AMRO yang dibelinya tahun lalu kepada pesaingnya, ING. Pemerintah Jerman dan konsorsium perbankan, juga berupaya menyelamatkan Bank Hypo Real Estate, bank terbesar pemberi kredit kepemilikan rumah di Jerman. Pemerintah Jerman menyiapkan dana 35 miliar euro atau sekitar Rp486,4 triliun berupa garansi kredit. Inggris juga tak kalah sibuk. Kementerian Keuangan Inggris, menasionalisasi bank penyedia KPR, Bradford & Bingley, dengan menyuntikkan dana 50 miliar poundsterling atau Rp864 triliun. Pemerintah juga harus membayar 18 miliar poundsterling untuk memfasilitasi penjualan jaringan cabang Bradford & Bingley kepada Santander, bank Spanyol yang merupakan bank terbesar kedua di Eropa. Bradford & Bingley merupakan bank Inggris ketiga yang terkena dampak krisis finansial AS setelah Northern Rock dinasionalisasi Februari lalu dan HBOS yang dilego pemiliknya kepada Lloyds TSB Group. Upaya bersama Apa yang dikhawatirkan Mantan Gubernur Bank Sentral AS Alan Greenspan tampak menjadi kenyataan. Ia mengatakan kekhawatirkan terbesar adalah keengganan industri perbankan untuk saling meminjamkan. Karena perbankan adalah urat nadi perekonomian, mediasi perdagangan dan transaksi global, keengganan saling meminjamkan itu akan mengganggu aktivitas bisnis. Sejak kejatuhan Lehman Brothers pada pertengahan September, banyak bank di dunia yang diserbu nasabah. Akibatnya, banyak bank mengalami kesulitan likuiditas. Dalam perkembangan terakhir, terjadi serentetan aksi jual saham di bursa global. Terjadi pula krisis kucuran kredit dan pinjaman antar-bank yang memacetkan transaksi bisnis global. Fasilitas pinjaman antarbank di dunia kering. Suku bunga Libor (The London interbank offered rate) pada 3 Oktober 2008 mencapai 5,33 persen untuk pinjaman uang antarbank dengan jangka waktu tiga bulan. Ini tingkat Libor tertinggi sepanjang sejarah, sebagaimana diutarakan Asosiasi Perbankan Inggris. Strauss-Kahn memperkirakan resesi AS baru akan pulih pada akhir tahun 2009. Namun, kata dia, resesi berkepanjangan bisa dihindari jika bank sentral dunia bekerja sama memulihkan kepercayaan pasar. Tindakan bersama bank sentral di dunia diperlukan antara lain dengan menurunkan suku bunga dan memberikan jaminan pada pembayaran surat-surat utang. ?Kini diperlukan kerja sama erat di antara bank-bank sentral,? katanya. Paket dana penyelamatan sektor keuangan AS 700 miliar AS gagal menenangkan gejolak di pasar finansial. Para pelaku pasar menilai paket bailout ke sektor keuangan AS tersebut tidak cukup. Korporasi AS butuh lebih besar lagi, karena sudah terjebak utang-utang beracun (toxic debt). Upaya pengguyuran dana ke pasar oleh sejumlah bank sentral tak mampu meredakan kegelisahan pasar. Kejatuhan juga terjadi setelah Bank Sentral AS menjanjikan akan membeli surat berharga berjangka pendek senilai 900 miliar dolar AS dari pasar. Indeks saham di berbagai bursa malah terus berjatuhan. Dari Wall Street, Frankfurt, Paris, Hong Kong Tokyo, hingga Singapura, para investor mencampakkan saham-sahamnya. Penurunan suku bunga oleh beberapa bank sentral secara terkoordinasi, hanya berhasil meredakan kepanikan di bursa saham sesaat. Investor khawatir otoritas tak lagi berdaya menghentikan krisis terbesar global sejak Depresi Besar 1929 di AS. "Pasar seperti kerasukan dan penjualan massal terjadi secara global," kata Matt Buckland, seorang pialang dari CMC Markets, London. Beberapa negara di Eropa juga menaikkan jumlah simpanan nasabah yang dijamin pemerintah. Namun, semua ini tak mencegah kepanikan di bursa global. "Pasar tak bergerak. Penyuntikan dana bank sentral ke pasar sama artinya dengan transfusi darah ke tubuh manusia yang urat nadinya tersumbat," kata Hiroichi Nishi, seoarang pialang di Nikko Cordial, Tokyo. Michel Camdessus, mantan Direktur Pelaksana IMF, mengatakan, akar krisis adalah minimnya peraturan yang mengontrol sektor keuangan AS. "Jika sektor keuangan AS tidak diatur atau dikendalikan, siap-siaplah kita memasuki krisis berikut." Redam gejolak Para pemimpin ekonomi utama dunia terus berjuang meredam gejolak pasar finansial. Namun, sejauh ini upaya mereka tampak sia-sia. "Saya ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan semua ini. Namun, krisis belum bisa dihentikan," kata Presiden George W Bush, setelah menyaksikan kejatuhan Wall Street dan bursa-bursa saham utama lainnya dalam sepekan terakhir. Perdana Menteri Jepang Taro Aso juga memperlihatkan kepasrahan. "Para pemimpin Uni Eropa sudah bertemu, tetapi tetap tak bisa meredakan gejolak. Pasar Eropa malah bergolak cepat dan substansial. Saya khawatir akan dampak dari krisis ini terasa di Jepang," kata PM Aso merujuk pada pertemuan para pemimpin Uni Eropa, Sabtu lalu seperti dikutip AFP. Para pemimpin negara maju itu, kini menggantungkan harapannya pada pertemuan G-7 (AS, Inggris, Perancis, Italia, Jerman, Jepang, dan Kanada) yang digelar di Washington pada 11 Oktober. Namun, Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengatakan kemampuan G-7 sudah usang dan tidak memadai. Zoellick malah meminta kerja sama tidak saja diperluas ke G-8, tetapi G-20 yang, antara lain, melibatkan Brasil, India, China, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Arab Saudi. Sentra-sentra keuangan global, kini memang tidak lagi terbatas di negara G-8 seperti pada masa lalu. Amerika Latin dan Timur Tengah kini menjadi kawasan yang memiliki banyak uang karena kenaikan harga minyak dalam empat tahun terakhir. Rusia juga memiliki dana dunia besar karena rezeki nomplok dari minyak. China, Jepang, dan Korea Selatan adalah negara penghasil barang manufaktur, dan memiliki devisa 3 triliun dolar AS lebih. Negara-negara kaya di luar G-8 kini memiliki perusahaan khusus pengelola dana investasi milik negara bernilai ratusan miliar dolar AS Di samping negara-negara itu, ada juga Meksiko yang menjadi kekuatan baru di Amerika Latin. Juga ada Afrika Selatan, negara raksasa ekonomi untuk ukuran Benua Afrika. Dalam kesimpulan pertemuan Menkeu G-7, ada lima rencana yang akan diluncurkan untuk meredakan kepanikan pasar, yaitu melindungi bank besar dari kebangkrutan, memperbesar aliran kredit, menaikkan modal bank, melindungi simpanan nasabah dan menghidupkan badan pembiayaan perumahan. Presiden Bush juga berjanji akan merangkul kelompok 20 negara atau G-20 untuk bersama-sama mengatasi krisis. Sementara Pemerintah Indonesia, sejauh ini berkeyakinan krisis di AS tidak akan terlalu besar pengaruhnya terhadap ekonomi Indonesia. Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebenarnya ekonomi tidak terlalu terpengaruh dengan ambruknya bursa dunia, seperti Wall Street. "Perbedaannya, kita banyak menggantungkan pada ekonomi domestik. Seperti di AS, pengaruh bursa itu sampai 1,5 kali dari produk domestik bruto mereka. Kalau kita pengaruhnya hanya 20 persen. Jadi, jangan terlalu dirisaukan," kata Wapres. Beberapa pengamat juga menilai tingkat krisis yang dihadapi Indonesia sangat berbeda dengan AS, Eropa, dan negara maju lainnya. Di AS, krisis telah merasuk ke semua sektor, mulai dari pasar modal, perbankan, hingga sektor riil. Di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar modal dinilai tidak mudah bertransmisi ke sektor lain, mengingat kontribusi pasar modal dalam sistem keuangan Indonesia masih kecil. (*)

Oleh Oleh Apep Suhendar
Copyright © ANTARA 2008