Jakarta (ANTARA News) - Suku bunga tinggi, penyerapan pasar yang rendah, inflasi tinggi, dan keringnya insentif pada sektor riil, telah mempersulit penyaluran kredit perbankan. Ketatnya likuiditas bank dan tingginya suku bunga adalah faktor utama yang membuat permintaan nasabah melemah, kata Presiden Komisaris Bank OCBC-NISP Pramukti Surjaudaja (16/10). Situasi ini diperparah oleh resesi global yang membuat daya serap ekspor memandul sehingga perbankan makin ditarik ke dalam guna menumbuhkan pasar domestik. Ironisnya, penyerapan pasar domestik juga rendah sehingga kegiatan produksi dalam negeri pun hampir melulu diorientasikan untuk ekspor. Saat bersamaan, otoritas moneter enggan melonggarkan kebijakan karena khawatir memicu terpompa keluarnya modal asing dari Indonesia. Bank Indonesia kemudian menaikan BI Rate menjadi 9,50 persen sehingga bunga deposito serta suku bunga kredit pun naik. Akibatnya, kepercayaan diri bank-bank dalam menyalurkan kredit pun berkurang, terutama untuk modal kerja dan investasi. Sebaliknya, perhatian ke sektor konsumsi tampaknya membesar karena risiko gagal kreditnya lebih rendah dibanding dua sektor itu. "Hingga Agustus 2008, suku bunga deposito meningkat lebih tinggi dibandingkan kenaikan BI Rate yang diikuti peningkatan suku bunga Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi, sementara Kredit Konsumsi relatif stabil," demikian laporan triwulan ketiga 2008, Bank Indonesia. Setahun lalu, ketika krisis global belum separah sekarang, kredit konsumsi tumbuh hampir tiga kali lipat dari 9,51 persen pada 2006 menjadi 24,84 persen. Sebaliknya, kredit modal kerja dan kredit investasi tumbuh kurang dari satu setengah kali tahun sebelumnya, masing-masing dari 16,98 menjadi 28,7 persen dan dari 12,51 menjadi 23,15 persen. Perbankan sekarang juga menghadapi era kompetisi keras dengan ceruk penyerapan kredit yang pertumbuhannya melambat sehingga kendati laba tumbuh, fundamental perbankan tidaklah terlalu kokoh karena tidak disokong produktivitas sektor riil. Statistik Perbankan Indonesia menunjukkan, laba bersih perbankan nasional periode Februari 2008 saja telah naik 12 persen menjdai Rp7 triliun dari periode sama tahun sebelumnya. Ini berkorespondensi dengan perbankan dunia yang pada 2006 menangguk pendapatan bersih 1,28 triliun dolar AS dan diperkirakan terus tumbuh hingga 1,9 triliun dolar AS pada 2017. Namun, di bawah ancaman resesi, pelambatan ekonomi dan persaingan keras di tingkat regional, perbankan tidak bisa menghindari dari keharusan untuk memperbarui strategi menumbuhkan pasar domestik. Jika situasi ini terjadi, mengutip Direktur Pelaksana Global Financial Service, Bertrand Lavayssiere, bank-bank akan terdorong mengambil empat pendekatan guna mempertahankan performa bisnisnya, salah satunya dengan mengintegrasikan dan mengoptimalisasi layanan multigerbang Internet. Jika dikaitkan dengan kecenderungan bisnis masa kini dan optimalisasi penyerapan kredit kosumsi, integrasi dan optimalisasi layanan Internet adalah cara paling pas bagi perbankan berorientasi kredit konsumsi berlingkungan cenderung melek Internet seperti Indonesia. Indonesia mungkin bisa mengambil cerita sukses bank-bank global yang berhasil karena mengadopsi pola ini, diantaranya ING dan Boursorama Banque, Prancis yang berani memutuskan fokus pada konsumen mapan yang sangat peduli pada kesempurnaan layanan Internet. Efisien Internet dipercaya sebagai wahana terefisien dalam mengelola informasi perbankan yang dibutuhkan konsumen karena kemasannya selalu dibuat integral dan mempermudah orang memeroleh layanan. Internet juga mengesampingkan batas-batas geografi dan waktu sehingga memudahkan bank dan nasabah dalam memperkuat jaringan kemitraan usaha lewat hubungan elektronis murah namun cepat. Insentifnya yang maksimal bagi layanan perbankan telah membantu industri perbankan tumbuh cepat dan agresif sembari memperbesar kemampuan menciptakan laba (profitabilitas) lebih tinggi dibandingkan bank konvensional, demikian Furt, Lang dan Nolle dalam satu makalahnya pada 2000. Gerbang distribusi jasa layanan perbankan berbasis Internet memang memungkinkan bank-bank mudah memasuki pasar baru tanpa harus membuka kantor cabang. "Dengan cara begitu, bank-bank berbasis Internet bisa menekan beban operasional dan upah karyawan," demikian Robert DeYoung dalam "Learning by Doing, Scale Efficiencies and Financial Performance at Internet-Only Bank," tahun 2001. Biaya untuk beban operasional atau gaji karyawan ini kemudian bisa dikompensasikan untuk makin menyamankan layanan pada nasabah sehingga hubungan bank-nasabah menjadi sangat cair. "Internet banking" memang memungkinkan nasabah bisa melangsungkan transaksi, seperti mencek saldo atau membayar tagihan, tanpa harus ke bank atau menunggu hari kerja mengingat bank jenis ini beroperasi selama 24 jam. Tidak heran, layanan perbankan berbasis Internet terus menjamur. Di Indonesia saja hampir semua bank memiliki laman meski fungsinya tidak sama. Maksimalisasi Internet dalam bisnis perbankan terjadi karena orang terus menuntut Internet dalam semua layanan bisnisnya. Tuntutan ini berdampingan dengan kemajuan pesat dalam teknologi informatika dan komunikasi. Riset Pew Internet & American Life Project (2005) menunjukkan, tumbuhnya industri perbankan berbasis Internet berkait erat dengan makin cepatnya sistem koneksi internet, selain bertambahnya pengguna Internet. Mengutip "internetworldstats.com," jumlah pengguna Internet di Indonesia tumbuh pesat dalam delapan tahun terakhir di bawah China, Jepang, India dan Korea Selatan. Tahun 2000, pengguna Internet di Indonesia baru dua juta orang, namun sampai akhir semester pertama 2008 jumlahnya membengkak menjadi 25 juta orang dengan penetrasi 10,5 persen. Dalam kurun 2000-2008, pengguna Internet Indonesia tumbuh hingga 1.150 persen dan jika besaran ini berlaku konstan, maka pada 2016, seluruh penduduk Indonesia adalah pengguna Internet. Indikator bakal terus meluasnya layanan perbankan berbasis Internet terlihat dari pesatnya pertumbuhan penjualan komputer yang mengikuti pesatnya penetrasi teknologi Internet sehingga memengaruhi tingkat produksi komputer. "Sekarang ukuran sukses penjualan komputer tidak lagi didasarkan pada berapa banyak keluarga memiliki komputer, namun pada berapa komputer untuk setiap orang," kata Bob O'Donnell, Wakil Presiden IDC, seperti dikutip DPA (15/8). Faktanya, menurut survey Gartner pada Oktober 2008, penjualan komputer secara global sepanjang Juli-September 2008 tumbuh 15 persen dibanding periode sama 2007 di mana sebagian besar dari total volume penjualan (80,6 juta unit) adalah laptop. Peluang Itu adalah alasan dan peluang bagi industri perbankan Indonesia untuk memanfaatkan kecenderungan "go internet"nya masyarakat untuk membangun hubungan yang lebih intim dengan nasabah sehingga merangsang produktivitas tanpa memperbanyak kantor cabang. Apalagi, mengutip riset ForeSee Results dan Forbes.com awal dekade ini, tingkat kepuasaan konsumen terhadap layanan "internet banking" 5,5 persen lebih besar dibandingkan terhadap bank konvensional. Indonesia mungkin bisa mempelajari cerita sukses tiga bank dalam memaksimalkan manfaat Internet. Ketiga bank itu acap menjadi patokan bagaimana bank-bank harusnya mengelola perbankan berbasis internet sehingga mencipta untung lebih banyak. Ketiga bank itu adalah Bank of America yang setengah dari nasabahnya (14,2 juta orang) adalah nasabah online, Wells Fargo yang juga setengahnya online (7,2 juta orang) dan ING yang adalah bank internet terbesar di dunia dengan nasabah online 13 juta orang. Contoh lainnya adalah Bank ICICI yang didirikan pada 1994 di India dan kini mewujud menjadi bank kedua terbesar di India serta termasuk kelompok 150 top dunia. Hanya dalam waktu sepuluh tahun, ICICI menjadi satu bank umum yang kini berani menawarkan diversifikasi portofolio jasa keuangan dengan mencengkeram asset lebih dari 79 miliar dolar AS, 3.300 ATM dan 3.200 "call center." Sukses ICICI ditempuh karena bank ini fokus mengeksploitasi Internet untuk menawarkan produk-produk inovatif tanpa harus memiliki kantor cabang yang banyak. Pasarnya juga fokus dengan tertuju pada korporasi dan kalangan menengah berpenghasilan tinggi, dua kelompok yang menuntut proses niaga harus selaras dengan aplikasi canggih Internet. Namun, dari semua bank yang ada, Wells Fargo & Co yang mengakuisisi Wachovia Bank yang rontok karena krisis global, adalah satu-satunya bank yang membangun layanan perbankan online paling terintegrasi di dunia lewat konsep portal. Portal Wells Fargo memiliki lebih dari 50 aplikasi Internet dan sumber data. "Memiliki banyak 'interface' dalam layanan perbankan online itu wajib mengingat kompetisi tidak lagi antar sesama bank, tetapi juga melibatkan kalangan nonbank," kata George Tubin, analis pada TowerGroup. Pokoknya, bank harus memahami bahwa nasabah sekarang umumnya amat memahami Internet sehingga mereka menuntut perbankan memiliki fasilitas Internet secanggih dan selengkap milik perusahaan non bank, termasuk portal berita. Akhirnya, apa yang tergambar dari bank-bank asing itu bisa menjadi referensi penting bagi bank-bank Indonesia yang sedang berjuang mengendurkan himpitan beban usaha dan menyiasati pasar domestik yang juga semakin menuntut kenyamanan dan kemudahan teknologis dari layanan perbankan.(*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008