Yogyakarta, (ANTARA News) - Pengungkapan kasus pemerasan oleh oknum jaksa tidak akan berhenti sampai di Tilamuta, Gorontalo namun kasus serupa akan terus muncul di beberapa daerah karena perbaikan institusi Adhiyaksa ini hanya berjalan di tempat. "Ibaratnya `kaset yang diputar ulang` kasus pemerasan oleh oknum jaksa ini akan terus muncul di daerah lain. `Lagunya` sama yakni pemerasan dan `iramanya` juga sama yakni pola yang digunakan jaksa dalam memeras," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar SH, LLM, Sabtu. Ia mengatakan, kasus pemerasan oleh oknum jaksa tersebut akibat buruknya sistem perbaikan di tubuh kejaksaan terutama terkait sanksi dan penghargaan bagi mereka yang melakukan pelanggaran maupun yang konsisten dalam penegakan hukum. "Ini bisa dilihat pada 2007, di Komisi Kejaksaan ada sekitar 400 laporan yang masuk terkait penyimpangan dan pelanggaran jaksa, tetapi yang diproses hanya sekitar 80-an dan itupun tidak ada yang mendapat sanksi berat," katanya. Menurut dia, sanksi yang diberikan kepada jaksa sama sekali tidak menimbulkan efek jera, sehingga kasus-kasus pemerasan akan terus berunculan. "Jika sanksinya hanya mutasi, ini tidak masalah besar dan tidak akan siginifikan terhadap perbaikan kinerja jaksa. Semisal jaksa yang memeras di Gorontalo hanya dikenai sanksi mutasi ke Aceh atau manapun tidak akan pernah merubah perilaku jaksa ini," kataya. Ia mengatakan, mutasi ini justru akan menyebarkan virus baru di tempatnya yang baru. "Jaksa yang dimutasi tetap akan melakukan pemerasan di tempat yang baru, dan justru akan menyebarkan virus di tempat baru ini," katanya. Zainal mengatakan, selama ini Pukat Korupsi juga menerima banyak laporan dari masyarakat terkait aksi pemerasan yang dilakukan jaksa. "Banyak laporan yang masuk ke Pukat Korupsi, dengan pola-pola yang selalu sama seperti menjual tuntutan, menghilangkan atau mengurangi alat bukti maupun menunda eksekusi. Ini pola yang sudah standar di institusi kejaksaan," katanya. Ia menambahkan, upaya perbaikan sumber daya manusia (SDM) di tubuh kejaksaan ibarat `berlari kencang tetapi tidak bergerak maju`. "Biaya dan SDM sudah dikotak-katik, tetapi tidak juga ada perbaikan di tubuh kejaksaan. Ini terjadi karena sistem sanksi dan penghargaan di kejaksaan tidak berjalan. Saat ini tinggal menunggu daerah mana yang akan muncul kasus pemerasan oleh jaksa," katanya.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008