Brisbane (ANTARA News) - Amos Ndolo (58) dan Rasta Ado (14), dua warga Pulau Rote, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang ditangkap Australia karena berupaya menyelundupkan 14 orang pencari suaka politik asal Afghanistan 6 Oktober lalu dipastikan gagal menikmati uang Rp20 juta yang dijanjikan sindikat penyelundup manusia. Sebaliknya, ancaman hukuman 20 tahun penjara menghadang mereka. Keduanya mulai diadili di Pengadilan Perth, Australia Barat, Senin. Sekretaris II Konsulat RI Perth, Dian Nirmalasari, kepada ANTARA mengatakan, persidangan pertama kedua warga negara Indonesia itu sudah dijadwalkan berlangsung pukul 10.00 namun hingga 11.45 waktu Perth, sidang awal kasus mereka belum bisa dimulai karena pengacara terdakwa belum muncul di ruang pengadilan. "Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum setempat belum tiba tapi persidangan awal keduanya sudah dijadwal hari ini," kata diplomat yang diperbantukan di bidang kekonsuleran Konsulat RI Perth itu. Seusai dengan hukum Australia, mereka yang terbukti terlibat dalam menyelundupkan lima atau lebih warga asing ke negaranya diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara. Selain Amos Ndolo dan Rasta Ado, ada seorang WNI lain bernama Mat Ndolo yang juga ditangkap aparat keamanan Australia dari atas kapal yang dinakhodai Amos. Mat Ndolo yang masih berusia 15 tahun ini tiada lain adalah anak Amos Ndolo. Dia kini ditahan di Pusat Penahanan Imigrasi Perth. Seperti halnya Arief Thayeb (15), juru masak kapal Indonesia yang ditangkap 29 September lalu dalam kasus yang sama, Mat Ndolo juga akan dipulangkan ke daerah asalnya, kata Dian. Namun dia tidak tahu pasti mengapa Rasta Ado yang justru setahun lebih muda dari Mat Ndolo harus dihadirkan di ruang pengadilan. Dian Nirmalasari mengatakan, pihaknya sudah bertemu dengan Amos Ndolo di Penjara Hakea hari Minggu (19/10) serta Rasta Ado dan Mat Ndolo masing-masing di "Range View Juvenile Center" dan Pusat Penahanan Imigrasi Perth hari Sabtu (18/10). "Mereka semua sehat wal`afiat," katanya. Menurut Dian mengutip pengakuan Amos, uang Rp20 juta yang dijanjikan orang yang menyuruh Amos membawa belasan orang asing ke Pulau Ashmore Reef baru akan diberi setelah dia kembali dari pulau itu. Dari perbincangan dengan Amos Ndolo, terungkap pula bahwa kapal yang dinakhodainya mengalami kerusakan mesin dan terbawa arus hingga memasuki perairan Australia. Berbeda dengan Abdul Hamid, nakhoda kapal asal Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang ditangkap kapal patroli Australia bersama Arief dan 12 orang Iran dan Afghanistan 29 September lalu, yang "buta huruf", Amos Ndolo masih bisa baca tulis namun anak dan keponakannya sama sekali tidak bisa baca tulis karena tidak sekolah, kata Dian. Sebelum ditemui Sekretaris II Konsulat RI Perth, Dian Nirmalasari, di penjara Perth, Amos Ndolo 14 Oktober lalu sudah diberi izin imigrasi Australia di Pulau Christmas untuk menghubungi diplomat RI lewat telepon. Pada tanggal itu, pihak imigrasi Australia menghubungkannya dengan Hidayat, diplomat RI yang bertugas di Konsulat RI Darwin, Australia Utara. Kepada ANTARA yang menghubunginya secara terpisah, Hidayat mengatakan, Amos sempat meminta tolong kantor perwakilan RI agar dia bersama anak dan keponakannya bisa segera dipulangkan ke daerah asalnya. Permintaannya itu di luar kemampuan perwakilan RI di Australia karena ada sanksi hukum Australia yang harus dia hadapi akibat perbuatannya. "Saya katakan hal itu melalui Purwanto, penerjemah yang mendampinginya selama proses di (Pusat Penahanan Imigrasi) Pulau Christmas," kata Hidayat. Kapal yang dinakhodai Amos Ndolo itu ditangkap saat sandar di sebuah fasilitas penyimpanan produk lepas pantai di perairan Laut Timor 6 Oktober lalu. Menteri Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia, Senator Chris Evans mengatakan, dari 16 orang yang ditahan, hanya ada seorang wanita, selebihnya pria. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008