Jakarta,(ANTARA News) - "Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang berbunyi....," lagu anak-anak yang sering didendangkan di sekolah, sayup-sayup terdengar dari alunan musik gesek yang dimainkan sebuah kelompok orkestra. Irama yang lembut, nada-nada yang merdu dari instrumen yang didomuninasi alat musik gesek seperti biola, cello serta ditingkat alat musik tiup fluit di tengah teduhnya pepohonan munggur di teriknya siang hari menjadikan lagu karya Ibu Sud tersebut nikmat dirasakan. Lagu Burung Kutilang hanya salah satu lagu yang dibawakan secara orkestra oleh Komunitas Taman Surapati, sebuah kelompok musik yang setiap hari Minggu bermain di Taman Surapati Jakarta Pusat. Mendengar sebuah kata orkestrasi biasanya yang terbayang adalah pergelaran musik di gedung megah dengan suasana formal dan kaku, serta lagu-lagu yang sulit dicerna oleh telinga kaum awam. Imej seperti itu memang tidak salah karena ketika menonton sebuah pergelaran musik orkestra, pengunjung diberikan aturan-aturan yang amat ketat mulai dari pakaian yang dikenakan hingga sikap di dalam gedung. Sementara itu, musik-musik yang dilantunkan dalam orkestrasi umumnya karya-karya klasik ciptaan musisi-musisi dunia seperti Beethoven, Mozart ataupun JS. Bach yang terdengar seperti tali-tali yang melilit. Namun tidaklah demikian dengan lagu-lagu orkestra yang dibawakan Komunitas Taman Surapati, karena di sini justru lagu-lagu daerah maupun lagu-lagu nasional penggugah nasionalisme yang sering dimainkan. Oleh karena itu tak heran jika menikmati musik orkestra di Taman Surapati akan sering terdengar lagu Gundul Pacul dari Jawa Tengah, Bungong Jeumpa dari Aceh, atau Rayuan Pulau Kelapa serta Indonesia Pusaka maupun lagu-lagu sejenis lainnya. Agis, penggagas kelompok yang baru dibentuk 1,5 tahun lalu itu mengungkapkan sengaja mimilih lagu-lagu daerah dan lagu nasional untuk dimainkan karena berangkat dari keprihatinanya terhadap fenomena yang terjadi saat ini. Lelaki berambut gondrong yang hanya lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di Muntilan Jawa Tengah itu melihat generasi muda saat ini kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia karena tidak lagi mengenal lagu-lagu daerah maupun lagu nasional bangsanya. "Melalui komunitas ini kami ingin mengajak anak-anak muda untuk mengenal dan pencintai lagu-lagu daerah maupun lagu nasional yang menjadi milik bangsanya," katanya. Berangkat dari niat itulah pria yang saat ini juga berprofesi sebagai guru musik tersebut membentuk komunitas musik yang jauh dari eksklusifitas namun justru membaur dengan masyarakat. Pilihan sebuah taman sebagai tempat aktivitas bermusik tidak hanya ingin menghilangkan kesan bahwa musik orkestra identik dengan musik gedongan namun juga memperlihatkan bahwa seni adalah milik seluruh lapisan masyarakat. Untuk itulah Komunitas Taman Surapati tersebut tak hanya beranggotakan orang kaya --apalagi selama ini alat musik biola identik dengan kaum berduit-- namun anak-anak jalanan maupun tukang sapu taman juga bisa bergabung ke dalamnya. "Saat ini sekitar 25-35 persen anggota kami justru berasal dari anak-anak jalanan," kata Agis sambil menambahkan total anggota Komunitas Taman Suropati sekitar 170 orang terdiri dari komunitas musik gesek maupun komunitas gitar. Agis mengakui, banyak anak-anak berbakat yang tercecer di jalanan karena tidak mempunyai biaya untuk belajar musik sehingga melalui Komunitas Taman Surapati mereka bisa menyalurkan bakatnya yang terpendam selama ini. Pria yang pernah malang-melintang menjadi pengamen jalanan itu berharap komunitas yang didirikannya menjadi sebuah lembaga pendidikan non formal yang bisa menjemput bola memberikan pendidikan bagi mereka yang tidak mampu secara finansial. Belajar musik juga tidak mengenal batas usia, oleh karena itu dari anak-anak usia delapan tahun, remaja SMA, anak kuliahan hingga kakek-kakek nampak menyatu dalam komunitas tersebut dan mereka bisa bermain musik bersama-sama secara harmonis. Yang dewasa, bisa membayangkan dirinya sebagai Idris Sardi. Yang anak-anak, bisa seketika merasakan tampil dan ditonton, seperti sang maestro biola yang mulai berkonser saat usia 10 tahun. Tak hanya dari Jakarta, namun anggota komunitas musik ini juga banyak berdatangan dari Bekasi, Depok, Parung serta Serpong Tangerang. Meskipun Komunitas Taman Surapati bukan sebuah kelompok musik seperti grup-grup musik yang digawangi musisi-musisi besar seperti Purwatjaraka, Erwin Gutawa, Elfa Scioria ataupun Dwiki Darmawan namun bukan berarti tidak memiliki prestasi. Komunitas Taman Surapati pernah melakukan konser di Balai Sidang Jakarta, bahkan diundang pentas ke Istana Negara dan didengarkan langsung oleh Presiden dalam acara parade senja. Miliki kelebihan Sejumlah orang tua yang anaknya turut bergabung dalam Komunitas Taman Surapati menilai kelompok seperti memiliki kelebihan tersendiri sebagai tempat belajar musik bagi anak-anaknya. Cecilia, ibu rumah tangga yang bermukim di Kelapa Gading mengatakan, dengan belajar di alam terbuka anaknya tidak hanya belajar musik namun juga bersosialisasi dengan masyarakat lainnya. Sistem pengajaran yang tidak kaku, seperti halnya di tempat-tempat kursus musik, membuat anak lelakinya yang masih berusia 10 tahun tidak malu untuk bertanya apalagi setiap anggota yang lebih mampu bisa menjadi "guru" bagi anggota lainnya. "Dengan bergabung di komunitas ini banyak nilai positif yang diterima anak-anak," katanya. Rita, orang tua salah satu anggota lainnya menilai tidak hanya dari cara pengajaran namun yang sangat membanggakan adalah penanaman nilai kebangsaan dan cinta tanah air bagi remaja melalaui pengenalan lagu-lagu daerah dan lagu nasional. "Selama ini kita selalu ribut kalau lagu kita diambil orang lain, namun tidak ada upaya nyata untuk melindunginya. Melalui komunitas ini diharapkan mampu menjaga lagu-lagu milik bangsa Indonesia," katanya. Tak hanya itu bagi orang tua lainnya belajar musik melalui Komunitas Taman Surapati meskipun harus mengeluarkan uang kontribusi namun, jika dihitung secara ekonomi lebih murah dibandingkan mengikuti kursus-kursus. Anggota komunitas tersebut setiap bulan dikenakan iuran sebesar Rp100 ribu sebagai pengganti ongkos fotokopi bahan pelajaran, minuman, ataupun transportasi jika mendapat undangan pentas. "Kalau kita ikut kursus biayanya bisa Rp300 ribu hingga Rp400 ribu setiap bulan atau Rp150 ribu hingga Rp200 ribu jika mendatangkan guru ke rumah itupun waktunya hanya 40 menit setiap kali pertemuan," kata Yeni yang juga anaknya bergabung di Komunitas Taman Surapati. Sedangkan belajar musik di Taman Surapati tidak dibatasi waktu, karena biasanya dari pukul 10.00 hingga 17.00 bahkan ada yang hingga malam hari. "Belajar di sini tidak bosen karena banyak temannya. Kalau di rumah hanya sendirian udah gitu hanya 30 menit," kata Nawang pelajar kelas dua SMP di Jakarta Barat. Selain belajar musik, baik not balok maupun teknik bermain alat musik, para anggota juga bisa belajar memperbaiki biolanya dari anggota yang lain ataupun sekedar "menyulap" biola kualitas tiga menjadi setara kelas satu. Pilot Proyek Agis yang juga didaulat sebagai ketua komunitas itu mengakui apa yang dilakukannya di Taman Surapati tersebut merupakan sebuah pilot proyek untuk mengembangkan komunitas-komunitas serupa di daerah lain. Ke depan diharapkan banyak bermunculan komunitas serupa yang memanfaatkan taman-taman kota sebagai tempat pengajaran bermusik non formal dan tidak eksklusif. "Kami akan mengirim dua orang mentor ke daerah-daerah lain untuk membantu pengembangan komunitas seperti," katanya. Kini yang diharapkan laki-laki itu adalah adanya perhatian dari pemerintah maupun swasta untuk lebih mengembangkan komunitasnya. Beberapa instansi seperti Bappenas memang sudah memberikan perhatiannya bahkan Atase Kebudayaan Amerika Serikat telah memberikan bantuan pendanaan karena tergugah dengan apa yang dilakukan Komunitas Taman Surapati. "Kami ingin nantinya anak-anak yang tidak mampu namun memiliki bakat bisa mendapatkan beasiswa," katanya. Komunitas Taman Surapati nantinya tidak hanya menampung mereka yang berminat di bidang musik orkestra namun juga akan dikembangkan ke musik keroncong, yang saat ini juga sudah banyak ditinggalkan serta seni lukis.(*)

Oleh Oleh Rz Subagiyo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008