Jakarta (ANTARA News) - Jika ada yang beranggapan melambannya perekonomian dunia akibat krisis keuangan tidak mengancam kelangsungan hidup rumah tangga sederhana dan miskin rasanya perlu dipikirkan ulang. Nelayan merupakan salah satu profesi tertua di Indonesia. Usia tua, namun tidak lantas membuat mereka hidup sejahtera. Tanpa krisis pun, nelayan yang hanya memiliki perahu di bawah 5 Gross Ton (GT) banyak yang mati kutu gara-gara kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) solar dan mereka pun beralih menggunakan minyak tanah. Biasanya, nelayan bermodal besar saja yang mampu meraup keuntungan dan relatif dapat bertahan dalam terpaan krisis keuangan seperti ini. Sebuah perusahaan pengalengan rajungan yang pasar tujuan ekspornya ke Amerika Serikat (AS) di Cirebon, PT PAN Putera Samudra, saat ini telah mengalami penurunan pesanan sebesar 50 persen. Padahal, biasanya dalam satu bulan perusahaan ini mengekspor sekitar 30 ton rajungan kaleng ke negeri Paman Sam tersebut. Kini ekspor yang bisa dilakukan hanya satu setengah bulan sekali, itu hanya mencapai 15 ton. "Apa yang bisa kami lakukan hanya bertahan. Banyak perusahaan pengalengan seperti kami yang sudah mulai menghentikan produksi," kata Kepala Operasional perusahaan tersebut, Mujakit, di Cirebon beberapa waktu lalu. Jumlah pegawai pabrik pengalengan rajungan tersebut mencapai 300 orang. Bagi Mujakit angka tersebut tidak terlalu besar jika dibandingkan jumlah plasma dan binaan perusahaan tersebut yang selama ini menjadi pemasok tetap perusahaan pengalengan rajungan yang terhitung besar di Pelabuhan Perikanan Nelayan (PPN) Kejawanan Cirebon. "Kalau kami tutup, saya tidak bisa membayangkan dampaknya bagi pemasok bahan baku kami. Jumlah mereka bukan hanya ribuan, tetapi bisa sampai jutaan orang. Pemasok memang dari nelayan rajungan, tapi orang yang terlibat untuk memisahkan daging rajungan dari cangkangnya juga cukup besar, belum lagi tenaga-tenaga pengirimnya," ujar Mujakit. Perusahaan pengalengan tersebut memang mendapatkan daging rajungan dari nelayan rajungan yang tersebar di Cirebon, Pemalang, Merak Banten, Jakarta, Lampung, hingga Batam. Tidak heran jika Mujakit berani mengatakan jutaan orang akan menganggur jika perusahaan tempat dia bekerja berhenti berproduksi. "Paling tidak untuk meringankan beban operasional nelayan-nelayan kecil seperti mereka, pemerintah dapat menurunkan harga solar. Penurunan itu jelas sangat berpengaruh karena mereka setiap kali mencari rajungan harus mengeluarkan biaya Rp400.000 - Rp700.000 dan belum tentu hasil yang diperoleh dapat menutupi biaya operasional tersebut karena tangkapan juga semakin sedikit," katanya. Andalkan Minyak Tanah Kondisi yang menghimpit kehidupan itu membuat puluhan nelayan di Kabupaten Cirebon menggelar unjuk rasa di depan kantor Wira Penjualan PT Pertamia di Jalan Tuparev Kabupaten Cirebon. Mereka menuntut perusahaan minyak negara itu tidak menarik minyak tanah dari daerah pesisir. "Tanpa minyak tanah, kami tidak mungkin bisa melaut karena harga solar masih tingi. Minyak tanah dapat mengurangi beban kami," kata Jupri, nelayan asal Desa Mertasinga, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon yang sudah dua minggu tidak melaut. Dia mengatakan hampir semua nelayan di daerahnya bergantung pada minyak tanah karena harganya di tingkat nelayan masih Rp3.500 per liter, sedangkan solar Rp6.000 per liter. Sekali melaut, menurut dia, nelayan menghabiskan 40 liter bahan bakar, sehingga dengan dicampur dengan minyak tanah mereka dapat menghemat sampai Rp100.000. Unjuk rasa tampaknya bukan langkah terakhir mereka agar aspirasinya didengar pemerintah. Dulgani (45), nelayan Desa Grogol, mengancam akan menyetop tanki milik Pertamina lagi apabila tidak mendapat jatah minyak tanah. Pihak Pertamina yang diwakili Manager Sales Area Region II, Eko Harjito, mengatakan perusahaan minyak tersebut hanya pelaksana dari program pemerintah. Karena itu, mereka harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Program konversi di Kota dan Kabupaten Cirebon sendiri telah dilaksanakan di 18 kecamatan dari target 39 kecamatan termasuk daerah pesisir Cirebon yaitu Kecamatan Gunung Jati, Suranenggala, dan Kapetakan. "Pertammina sudah mengurangi jatah minyak tanah sekitar 4.846 kilo liter per bulan sebagai bagian dari program konversi di 18 kecamatan tersebut. Kecamatan lain akan segera menyusul," ujar Eko. Penggunaan minyak tanah sebagai campuran bahan bakar mesin kapal telah lama dilakukan nelayan kecil di seluruh Indonesia, bahkan sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi bulan Mei 2008. Mereka tidak memiliki pilihan lain walaupun sadar mencampur solar dengan minyak tanah akan merusak mesin kapal mereka. Kesulitan untuk mendapatkan minyak tanah, setelah konversi ke gas elpiji berlangsung, memang telah memaksa nelayan untuk kembali menggunakan BBM jenis solar. Paling tidak hal tersebut telah dilakukan puluhan nelayan di Kabupaten Jepara Jawa Tengah. "Selain sulit, harga minyak tanah juga melonjak hingga Rp4.500 per liter. Solar lebih mudah diperoleh dan jumlahnya cukup banyak dibanding dengan minyak tanah," kata nelayan dari Desa Bulu, Kecamatan Kota, Irjam. Irjam mengaku telah berkeliling ke sejumlah pangkalan minyak tanah sebelum melaut, tetapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya, ia kembali menggunakan solar yang memiliki selisih harga hingga Rp1.000 per liter. Nelayan lainnya, Juwadi justru mengaku sudah beberapa hari terakhir kembali menggunakan solar. Walaupun lebih mahal, menggunakan solar lebih irit dan suhu mesin menjadi lebih dingin dibandingkan dengan minyak tanah. Menurut dia, kebutuhan solar rata-rata setiap melaut berkisar 10 -11 liter, sedangkan jika menggunakan minyak tanah mencapai 15 liter. Turunkan Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Pekalongan, Rasjo Wibowo meminta harga solar diturunkan setelah ada kebijakan pemerintah pusat untuk menurunkan harga premium paska turunnya harga minyak dunia. Idealnya harga solar diturunkan minimal Rp1.000 per liter atau menjadi Rp4.500 per liter. "Para nelayan di Pekalongan memang meminta harga solar sebagai bahan bakar kapal diturunkan karena terkait dengan adanya kenaikan harga barang pokok dan pendapatan melaut yang menurun," kata Rasjo. Menurut dia, permintaan penurunan harga solar itu bukan semata demi keadilan, tetapi akibat kondisi ekonomi nelayan yang masih memprihatinkan. Sekarang ini hasil tangkapan ikan dari melaut tidak sebanding dengan besarnya modal yang dikeluarkan untuk perbekalan. Ketua Harian Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI), Ady Surya, mengharapkan pemerintah dapat segera mengambil kebijakan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang banyak digunakan untuk sektor produktif, termasuk oleh nelayan. "Kalau premium itu kan kebanyakan hanya digunakan untuk mobil pribadi, ya seharusnya bahan bakar untuk sektor produktif yang diturunkan, termasuk solar yang memang banyak digunakan sektor produktif ini," kata Ady saat dihubungi ANTARA. Menurut dia, pemerintah harus bijak, terutama dalam suasana bertahan dari dampak krisis keuangan global yang terjadi seperti saat ini. Pemerintah yang melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) empat Menteri mengharapkan produksi nasional tetap dapat dipertahankan seharusnya membantu meringankan pengusaha, salah satunya dengan menurunkan harga solar yang jelas digunakan untuk berproduksi. "Kebijakan menurunkan harga bahan bakar dapat memberikan efek berantai yang dapat dirasakan kebaikannya untuk masyarakat luas," ujar dia. Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI) Sukirjo mengatakan berapapun besaran penurunan harga solar, hal itu tetap akan meringankan nelayan maupun pengusaha perikanan. "Bagaimana pun penurunan BBM kita sambut dengan senang hati. Harga minyak dunia turun dan premium juga turun, masak solar tidak turun," katanya. Dengan harga solar saat ini, menurut Sukirjo, sekitar 60 - 70 persen hasil tangkapan udang dipergunakan untuk biaya bahan bakar. Dalam satu hari kapal penangkap udang menghabiskan 1.900 hingga 2.100 liter per hari, jika harga solar Rp5.500 per liter, maka setiap hari biaya operasional mencapai Rp10,45 juta hingga Rp11,55 juta per hari. Pengamat energi, Nanda A Wicaksono, menilai seharusnya pemerintah menurutkan harga solar bersamaan dengan premium per 1 Desember 2008. Jika penurunan premium dan solar masing-masing Rp500 per liter hanya akan menambah sekitar Rp1,3 triliun. Nanda mengatakan, pelemahan ekonomi dunia akan terus mendorong penurunan harga minyak. Dengan asumsi moderat harga minyak 65 dolar AS per barel dan kurs sekitar Rp11.000 per dolar AS, maka penurunan harga premium dan solar yang wajar sekitar 10 persen yang berarti jika dibulatkan menjadi sekitar Rp500 per liter Sementara itu, Ketua Dewan Pakar Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PPA GMNI), Sri Adiningsih, mendesak pemerintah juga menurunkan harga solar. Pernyataannya itu disampaikan setelah bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Kamis lalu. Menurut Sri Adiningsih solar lebih memiliki efek berganda yang luas bagi masyarakat ketimbang premium. Karena itu, pemerintah harus dapat menurunkan harga solar. "Save our ship" (SOS), signal itu telah dikirimkan oleh para nelayan. Harapan mereka, pemerintah dapat menyelamatkan mereka dengan menurunkan harga solar sebelum kapal mereka benar-benar tenggelam. (*)

Oleh oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008