Beijing (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia dengan pemerintah China pada 11 November 2008 memasuki babak baru bidang ekonomi terkait terjadinya kesepakatan jaminan keamanan ekspor dan impor produk perikanan. Kesepakatan itu dinilai sangat penting dan strategis mengingat komoditi itu sangat rentan terhadap adanya penolakan impor dengan alasan tidak memenuhi standar kualitas dan kesehatan sehingga tidak aman dikonsumsi masyarakat. Penandatanganan dilakukan oleh Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Martani Huseini dengan Dirjen Keamanan Pangan Administrasi Pengawasan Kualitas, Inspeksi dan karantina (AQSIQ) China Yu Tawei. "Kerjasama ini memiliki arti penting bagi kedua negara sehingga produk perikanan dari kedua negara dapat terhindar dari adanya saling penolakan karena alasan tidak memenuhi keamanan dan standarisasi," kata Huseini. Menurutnya, kerjasama ini juga bertujuan memperkuat kerjasama bilateral kedua negara bidang ekspor dan impor produk perikanan, seperti ikan segar, rumput laut dan produk perikanan lainnya sehingga bisa lebih menjamin keamanan pangan ikan bagi konsumen di kedua negara. Ia mengatakan, kerjasama ini sangat penting mengingat adanya kasus penolakan produk perikanan Indonesia di China beberapa bulan lalu membuat perdagangan produk tersebut menjadi ikut terganggu. "Diharapkan dengan adanya kerjasama ini masing-masing negara bisa saling mengawasi. Indonesia mengawasi produk perikanan impor asal China dan sebaliknya China juga mengawasi produk perikanan impor asal Indonesia dengan alasan untuk menjaga keselamatan konsumen," katanya. Huseini mengatakan, kerjasama ini bertujuan memperkuat kerjasama bilateral bidang ekspor dan impor produk perikanan, terutama ikan segar, rumput laut dan produk-produknya guna lebih menjamin keamanan pangan bagi konsumen di kedua negara. Sesuai perjanjian itu, kedua negara juga akan melakukan pertukaran teknis mengenai metode pengujian laboratorium dan pengalaman bidang manajemen yang dilakukan melalui kunjungan para pejabat berbagai tingkatan dan pakar, juga akan bekerjasama bidang penelitian mengenai upaya meningkatkan kualitas produk-produk perikanan. "Kedua pihak juga akan bekerjasama di bidang penelitian mengenai upaya meningkatkan kualitas produk perikanan," katanya menambahkan. Melalui kesepakatn ini, eksportir kedua negara diwajibkan melakukan pengujian secara ketat terhadap produk yang akan diekspor dan mendapatkan sertifikat dari lembaga yang berwenang. Produk yang akan diekspor juga harus memenuhi semua persyaratan keamanan dan kesehatan seperti yang diatur dalam undang-undang, peraturan dan standar kedua belah pihak. Sementara penentuan sertifikat kesehatan ditentukan melalui negosiasi bersama. Dalam kesepakatan itu tegas dijelaskan bahwa produk perikanan yang tidak memenuhi standar kesehatan atau tanpa sertifikat yang ditandatangani pejabat ditunjuk tidak boleh diekspor. Sementara jika ditemuka produk yang bermasalah, maka pihak pengimpor berhak mengehentikan sementara impor produk dari unit ikan di negara pengekspor dan impor dapat dibuka kembali setelah masalah yang muncul diselesaikan melalui konsultasi bersama. Perjanjian kerjasama ini berlaku efektif sejak 11 November 2008 dan berlaku untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang selama tiga tahun kecuali salah satu pihak berniat menghentikan kesepakatan. Namun demikian rencana penghentian harus disampaikan secara tertulis melalui jalur diplomatik minimal enam bulan sebelum berakhirnya lima tahun pertama dari perjanjian tersebut. Yu Tawei mengatakan kerjasama ini membuktikan bahwa Indonesia dengan China memiliki kemauan untuk memajukan perdagangan produk perikanan yang selama ini telah berjalan dengan baik. Ia mengakui masalah keselamatan dan keamanan produk perikanan memang menjadi masalah yang sensitif dan penting bagi China termasuk tentunya di Indonesia, sehingga kerjasama ini memiliki arti penting. "Kami berharap agar bentuk-bentuk kerjasama serupa tidak saja berlaku untuk produk perikanan tapi juga untuk produk pangan lainnya diantara kedua negara," kata Tawei. Masalah keamanan dan keselamatan produk memang merupakan isu sensitif sehingga harus mendapat perhatian serius dari semua pihak termasuk dari China dan Indonesia dalam rangka melakukan kontak dagang. Antara China dan Indonesia, kata Tawei, sama-sama membutuhkan produk perikanan untuk bisa saling melengkapi sehingga arus perdagangan kedua negara akan terus meningkat di masa mendatang. Ia berpandangan seharusnya bukan saja produk perikanan yang harus memiliki bentuk kerjasama seperti ini tapi seluruh produk makanan dan minuman hendaknya juga memiliki kerjasama mengenai jaminan keamanan dalam ekspor dan impor. Pasar potensial China merupakan salah satu pasar potensial produk perikanan Indonesia di Asia sehingga berbagai upaya peningkatan ekspor ke negara itu perlu terus ditingkatkan. "Sekalipun pangsa nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke China masih kecil, tapi jenis produk ikan yang diekspor ke China lebih bervariasi," kata Martani Huseini. Menurutnya, nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke China tahun 2006 mencapai 55,80 juta dolar AS dan tahun 2007 turun 67 persen menjadi 37,50 juta dolar AS atau dengan pangsa 1,63 persen dari total ekspor 2,3 miliar dolar AS. Mengingat masyarakat China merupakan openggemar konsumsi produk perikanan sehingga peluang meningkatkan ke negara itu terbuka luas, maka berbagai bentuk kerjasama seperti dengan penandatanganan naskah jaminan keamanan dan keselamatan itu miliki arti strategis. "Kami berharap melalui kesepakatan kerjasama ini, akses pasar produk perikanan antara Indonesia dengan China dalam meningkat di masa mendatang," katanya. Melalui kerjasama ini, tambah Huseini, kedua negara diharapkan pula bisa menyelesaikan masalah berupa larangan produk perikanan Indonesia ke pasar China dan membangun suatu pondasi kuat dalam menerapkan sistem jaminan keamanan produk perikanan di masa mendatang. Untuk menjamin dan melihat langsung mengenai kondisi pengolahan produk perikanan di Indonesia, sejumlah pejabat AQSIQ telah datang sendiri ke Indonesia untuk melakukan inspeksi dan hasilnya ternyata bisa diterima. "Sistem pengolahan produk perikanan Indonesia selama ini merujuk ke Uni Eropa dan ketika pejabat AQSIQ datang kebetulan ada tim inspeksi dari Uni Eropa," katanya. Pada akhir 2007 hingga awal 2008 pemerintah China sempat melarang seluruh produk perikanan asal Indonesia karena diketahui mengandung zat berbahaya yang tidak aman dikonsumsi masyarakat. Akibatnya pemerintah setempat melarang produk perikanan asal Indonesia dan setelah melakukan peninjauan ke Indonesia larangan dicabut pada Februri 2008. "Kami berharap larangan itu tidak ada lagi di masa datang sehingga volume ekspor produk perikanan Indonesia ke China bisa meningkat setiap tahunnya," katanya. Untuk merealisasikan kerjasama itu sebanyak 39 laboratorium yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia ditunjuk oleh DKP untuk mengeluarkan sertifikat kesehatan produk perikanan yang akan diekspor ke China. "Kami yang diwakili 39 laboratorium di daerah memiliki otoritas kompeten yang mengeluarkan sertifikat kesehatan produk perikanan. Dengan adanya itu maka pejabat yang menandatangani sertfikat berarti menyebutkan produk tersebut sudah melalui pengujian, di luar mereka maka produk perikanan yang diekspor ke China liar," kata Huseini. Sebelumnya, katanya, produk perikanan Indonesia yang akan diekspor ke China tanpa ada nomor registrasi sehingga tidak sedikit yang ketika diekspor tidak memenuhi syarat kesehatan dan keamanan, sehingga produk perikanan Indonesia sempat dilaranga masuk selama enam bulan. "Tapi dengan adanya kerjasama ini dan telah ditunjuk 39 laboratorium maka produk perikanan yang sebelumnya telah diuji kesehatan dan lulus maka akan ada tandatangan dari pihak berwenang dan teregistrasi," kata Huseini. Wakil Kepala Perwakilan RI di China Mohamad Oemar mengatakan, kasus terjadinya penolakan produk perikanan Indonesia oleh China akhir 2007 hingga awal 2008 telah membuka kepedulian kedua negara mengenai pentingnya adanya bentuk kerjasama ini, sehingga kedua belah pihak tidak perlu saling melakukan penolakan produk. Menurutnya, masalah kualitas dan keamanan memang menjadi masalah penting dan sensitif tidak hanya di China tapi juga di Indonesia, sehingga kedua negara harus bisa memahami kondisi di masing-masing negara. "Adanya kerjasama itu memang akan sangat penting untuk menghindari lagi adanya penolakan impor produk perikanan. kalaupun ada penolakan diharapkan bisa dilakukan seminimal mungkin," kata Oemar. Dalam kasus penolakan produk impor perikanan seharusnya tidak dilihat sebagai siapa yang kalah dan menang tapi kedua negara lebih mengutamakan mengangkat kebersamaan dan kesetaraan dalam bidang perdagangan sehingga produk yang diimpor layak dikonsumsi.(*)

Oleh Oleh Ahmad Wijaya
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008