Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK), terpaksa mengerahkan "penerjemah" bahasa Madura, guna membantu sejumlah saksi dari pasangan cagub/cawagub, Khofifah Indar Parawansa/Mudjiono (Kaji), yang tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia.

Hal itu berlangsung saat Sidang Perselisihan Hasil Pilkada Jatim yang diajukan pasangan Kaji, di Gedung MK, Jakarta, Rabu.

Dari 21 saksi asal Madura yang diajukan oleh pasangan Kaji dalam sidang tersebut, sebanyak dua saksi diantaranya sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Indonesia hingga staf MK, Ali, menjadi penerjemah dadakan.

Kedua orang yang tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia itu, yakni, Sahidin (petugas TPS Alas Kembang, Madura) dan Fauzan (petugas TPS Kampung Bararan, Madura).

Kehadiran dua orang saksi itu, menambah segar ruangan persidangan, setelah dua jam sidang sengketa itu yang berlangsung sejak pukul 14.00 WIB berlangsung serius.

Kepolosan dari kedua orang itu, tampak seperti saat pimpinan majelis hakim konstitusi, Maruarar Siahaan, menanyakan kepada saksi Sahidin bahwa dia berarti masa bodoh dengan pelaksanaan pencoblosan.

"Saya tidak bodoh, pak," kata Sahidin dengan suara meninggi.

Majelis hakim konstitusi juga sempat kebingungan dengan maksud saksi yang disampaikannya, karena kedua orang saksi itu menggunakan bahasa Madura dengan cepat sedangkan penerjemah tidak mampu menangkapnya.

Akibatnya, kedua orang saksi itu, diminta mengulang pembicaraannya.

"Saya tidak mengerti, Pak, bicaranya terlalu panjang," kata staf MK yang menjadi penerjemah dadakan, Ali.

Sementara itu, dalam acara sidang, termohon Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jatim melalui kuasa hukumnya, Fahmi Bachmid, meminta MK tidak mengabulkan permohonan pemohon, karena tidak berdasarkan alat bukti dan penghitungan suara dilakukan oleh pemohon sendiri.

"Permohonan pemohon harus tidak dapat diterima," katana.

Menanggapi pernyataan pemohon bahwa temuan penghitungan suara bukannya per-TPS namun perdesa, dibantah KPUD Jatim yang menyatakan bahwa rekapitulasi suara itu dilakukan di Panitia Pemilihan tingkat Kecamatan (PPK), dan KPUD Kabupaten/kota/provinsi.

"Rekapitulasi itu bukan ditingkat TPS atau desa," katanya.

Disamping itu, ia mempertanyakan jumlah kabupaten/kota di Surabaya yang disebutkan oleh pemohon sebanyak 37 kabupaten/kota, padahal sesungguhnya sebanyak 38 kabupaten/kota.

"Patut dipertanyakan Kabupaten Lumajang ditiadakan oleh pemohon," katanya.

Majelis hakim akhirnya menunda persidangan perkara sengketa pilkada Jatim itu, sampai Jumat (21/11).(*)



Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008