Jakarta (ANTARA News) - Krisis keuangan global yang berlangsung saat ini menekan rupiah, sehingga kurs rupiah sempat mencapai Rp12.000  per dolar AS.

Keterpurukan rupiah mengakibatkan Bank Indonesia (BI) menggunakan seluruh instrumennya untuk mengatasi gejolak rupiah agar posisinya kembali di bawah angka Rp12.000,- per dolar AS.

Nilai tukar itu tampaknya sulit diatasi karena hampir semua mata uang Asia melemah terhadap dolar AS, terutama Won Korea yang terpuruk lebih jauh lagi dibanding rupiah, akibat krisis keuangan global yang makin menekan.

Rupiah sejak dua bulan lalu terpuruk dan sempat mendekati angka Rp12.500,- per dolar AS. Rupiah semula masih bertengger di bawah angka Rp9.000,- per dolar AS (Rp8.975,-), ditopang oleh masuknya arus dana asing ke pasar modal maupun pasar uang.

Pengamat Pasar Uang, Farial Anwar, mengatakan penguatan dolar AS disebabkan tak adanya sumber pemasok dolar AS di dunia internasional, sehingga likuiditas dalam mata uang itu sangat terbatas. Oleh karena itu, berapa pun dolar AS yang dipasok Bank Sentral AS akan selalu kurang.

Hal ini disebabkan setiap pelaku usaha yang mendapatkan dolar AS tak langsung memutar dananya itu dalam bisnis, melainkan disimpannya, katanya.

"Jadi masyarakat perlu diberi pengertian bahwa kaitan dolar AS dengan rupiah saat ini sangat dipengaruhi kepercayaan orang yang rendah untuk melakukan perdagangan. Atas dasar itu masyarakat seharusnya menyesuaikan diri dengan keseimbangan baru ini.


<b>Keseimbangan baru</b>

Direktur Utama PT Finance Corpindo, Edwin Sinaga mengemukakan semua pihak harus segera menyadari bahwa saat ini nilai tukar rupiah sedang memasuki keseimbangan baru. Semua yang terkait terutama pebisnis diharapkan menyadari bahwa dolar AS tidak akan kemgbali ke posisi di bawah Rp10.000,-.

"Semua harus mengubah cara berpikirnya tidak hanya dolar AS yang tidak akan kembali ke level Rp9.000,- tetapi juga menyadari bahwa target pertumbuhan ekonomi pada level 6 persen pada 2009 pun akan sangat sulit, " katanya.

Lembaga riset Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 menurun menjadi 3,7 persen dari tahun ini yang mencapai 6,1 persen.

Direktur Corporate Network EIU, Dustin Wood mengatakan, merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia seiring makin ketatnya likuiditas global dan makin sulitnya untuk memperoleh sumber pendanaan.

Selain itu, penurunan permintaan atas ekspor Indonesia juga akan berdampak kepada perekonomian Indonesia, ujarnya.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan berbagai perbaikan di bidang ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, sehingga pemerintah bisa bertahan sampai saat ini di dalam ketidakpastian ekonomi dan keuangan global.

Padahal sejumlah negara di Asia telah tumbang akibat makin kuatnya gejolak keuangan global itu, tuturnya.

Kondisi ini, menurut dia, mengakibatkan nilai tukar rupiah makin memburuk terhadap dolar AS, meski BI telah melakukan berbagai upaya untuk menahan tekanan pasar yang semakin berat.

Karena itu, BI sampai sampai saat ini mempertahankan tingkat suku bunga acuannya,BI Rate, yang mencapai 9,5 persen, meski disisi lain BI telah memperlonggar pengetatannya, ucapnya.

Indonesia untuk sementara masih dapat bertahan, namun ke depan pertumbuhan ekonomi nasional akan semakin sulit.

Namun krisis kepercayaan terhadap Indonesia akan semakin tinggi apabila pemerintah tidak dapat mengatasi masalah itu dengan baik, katanya.

Pemerintah dalam hal ini juga diminta untuk membuka kepemilikan asing di sektor properti sebagai solusi melemahnya nilai tukar rupiah, karena dengan kemudahan itu asing akan membelinya yang berarti ada uang dolar AS yang masuk ke Indonesia.

Karena itu pemerintah harus menangkap peluang pasar asing, mengingat harga properti di Indonesia sangat murah sepersepuluh sampai seperlimabelas dari harga properti di Singapura, katanya.


<b>Nilai tukar realistis</b>

Menurut Sekjen Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia, Toto Dirgantoro, nilai tukar pada kisaran itu semesti tidak masalah bagi eksportir, namun karena sebagian besar eksportir menggunakan bahan baku impor mengakibatkan dunia usaha sulit bergerak.

Ia menilai merosotnya rupiah akan memberi efek negatif pada semua sektor, terutama sektor riil di dalam negeri.

Semua sektor memang berpeluang terkena dampak melemahnya nilai tukar, yang idealnya pada kisaran Rp9.500,- per dolar AS, katanya.

Gubernur BI, Boediono menyatakan, BI tidak akan membiarkan kurs rupiah tidak realistis yang akan merugikan perekonomian Indonesia.

"Kita tidak akan membiarkan pasar membuat kurs menjadi tidak realistis," katanya.

Dengan berbagai instrumen yang dimiliki, menurut dia, BI akan mengarahkan agar nilai tukar rupiah tetap realistis.

"Pokoknya kita buat yang baik-baik bagi ekonomi," ujarnya. (*)
 

Copyright © ANTARA 2008