Jakarta (ANTARA News) - Beberapa pilot dan kru pesawat yang menggunakan pakaian serba oranye, sibuk "mendadani" pesawat CN-235-200M konfigurasi Maritime Patrol Aircraft (MPA) di static line Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta.

Pesawat tersebut, salah satu produk PT Dirgantara Indonesia (DI) yang ditampilkankan dalam Pameran Pertahanan Indonesia (Indo Defence) dan Pameran Kedirgantaraan Indonesia (Indo Aerospace) 19 hingga 22 November 2008.

Selain, CN-235 MPA TNI Angkatan Udara (AU), juga ditampilkan pesawat Cassa-212 dari Skadron Udara 800 TNI Angkatan Laut (AL), helikopter Bell 412 dan NBO 502.

Sementara itu PT Pindad menampilkan kendaraan tempur angkut personel (APS) 6x6 dan PT PAL menampilkan kapal patroli cepat FPB-57.

Bahkan, APS 6x6 PT Pindad yang telah dipesan pemerintah Indonesia sebanyak 150 unit, menggelar dynamic show dihadapan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dan para hadirin yang ada dalam acara pembukaan kegiatan yang diikuti 337 perusahaan dari 37 negara itu.

Seperti pameran serupa sebelumnya, Indo Defence dan Indo Aerospace 2008 dimaksimalkan sebagai etalase kemampuan industri pertahanan dalam negeri.

Tak ada F-5 Tiger, F-16 Fighting Falcon atau Hawk 100/200 yang digelar di static line. Alat-alat tempur itu hanya menyemarakkan Indo Defence dan Indo Aerospace dalam bentuk terbang lintas (fly pass).

"Kami memang hanya ingin menampilkan produk dalam negeri, sebagai ikon yang dapat diperhitungkan baik di tingkat regional maupun internasional," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Pertahanan (Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin dalam jumpa wartawan di arena pameran.

Jadi, meski kondisi ekonomi global sedang tidak menggembirakan namun Indonesia tetap berupaya agar pameran dua tahunan itu dapat terselenggara dengan baik, dan tepat sasaran.

Sjafrie mengatakan, saat ini industri pertahanan nasional telah seratus persen memasok senjata untuk TNI seperti senapan serbu (SS) 1 dan 2, serta kendaraan tempur dan taktis sekitar 75 persen.

"Semuanya , untuk kebutuhan TNI. Jadi, ke depan diharapkan semua persenjataan TNI dapat dipasok dari dalam negeri, mulai dari yang berteknologi sederhana hingga tinggi," katanya.

Pasar Potensial


Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengatakan, saat ini hampir 70 persen persenjataan TNI masih dipasok dari luar negeri.

Meski krisis keuangan global, beberapa produsen senjata dari mancanegera seperti Rosoboronexport dan Sukhoi (Rusia), Brahmos (India), Schelde Naval Shipbuilding (Belanda) dan lain-lain, tetap rutin menjadi peserta Indo Defence dan Indo Aerospace.

"Itu menandakan, Indonesia masih menjadi pasar potensial bagi industri pertahanan. Ini yang harusnya juga bisa dimainkan oeh industri pertahanan nasional," kata Dirjen Sarana Pertahanan (Ranahan) Dephan Marsekal Muda TNI Eris Herryanto.

Karenanya, sejak 2006 pemerintah menetapkan komitmennya untuk memberdayakan industri pertahanan nasional dalam pemenuhan sarana dan persenjataan TNI, khususnya untuk yang berteknologi madya.

"Wujudnya bisa dilihat dari adanya ranpur APC 6x6 dari PT Pindad, LPD dan FPB dari PT PAL dan lainnya, itu pesan yang kita sampaikan dalam pameran ini, bahwa Indonesia sudah memaki produk dalam negerinya, untuk persenjataan," katanya.

Eris menambahkan, Dephan sebagai pembina indsutri pertahanan selalu berupaya melibatkan industri lokal dalam setiap rencana pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI, sehingga pameran ini tidak sekadar jadi etalase.

Karenanya, selain melalui pameran Dephan beserta departemen terkait tengah menjajaki sarana atau persenjataan apa saja yang dapat diproduksi oleh industri pertahanan nasional.

Dari hasil identifikasi sementara dengan tetap memperhatikan kemampuan BUMN Industri Strategis maka ada sekitar peralatan dan sarana pertahanan senilai 397 juta dolar AS.

Itu sudah merupakan pengalihan peralatan yang semula direncanakan didatangkan dari luar negeri.

"Kalau memang industri pertahanan nasional punya kemampuan, sesuai standar yang ditetapkan, tentu Dephan dan TNI akan dukung untuk menggunakan produknya. Dan kami yakin, industri pertahanan kita mampu," katanya.

Apalagi, tambah Eris, pangsa pasar dalam negeri juga cukup potensial tak kalah dengan dari luar negeri.

Tak Mudah

Komitmen pemerintah untuk memberdayakan industri pertahanan nasional, ternyata tidak mudah.

"Payung hukumnya, sudah ada yakni PP No54/2007 tentang Tata Cara Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri. Tetapi petunjuk teknisnya belum ada," kata Sekjen Dephan Sjafrie.

Ini yang menyebabkan pengadaan sarana pertahanan dan persenjataan TNI dari dalam negeri, terhambat, lanjut dia.

Pada kesempatan berbeda, Menhan Juwono Sudarsono mengatakan, saat ini BUMN industri strategis memerlukan kucuran dana segar sekitar 600 hingga 700 juta dolar AS, untuk bisa memproduksi sarana dan senjata TNI.

Namun, belum adanya juknis PP 54/2007 mengakibatkan BUMN industri strategis tak mampu bergerak, termasuk belum adanya kesepakatan tentang tingkat suku bunga pinjaman dalam negeri.

Terkait itu, tambah Juwono, pemerintah melalui Departemen Keuangan masih mencoba mencari titik temu dengan otoritas terkait yakni Bank Indonesia (BI).

Tapi itu, bukan lantas persoalan jadi sedikit mudah mengingat BI sejak sepuluh tahun silam tidak lagi di bawah kendali pemerintah.

Pada kesempatan lain, Pangima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso mengatakan, pihaknya sebagai pengguna tetap berkomitmen untuk menggunakan produk sarana dan persenjataan dari dalam negeri.

"Pihak TNI selama ini telah menggunakan dan memesan berbagai sarana dan persenjataan dari BUMN Industri Strategis yang ada di dalam negeri. Terutama untk senjata ringan, sedang, kaliber kecil hingga besar dan lainnya," ujarnya.

Dengan begitu, ke depan Indo Defence dan Indo Aerospace tidak lagi sekadar menjadi etalase.
(*)

Oleh Oleh Rini Utami
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008