Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu legislatif, berkaitan dengan perubahan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow, di Jakarta, Senin malam (24/11) mengatakan pasal 47 ayat 3 UU 10/2008 menyebutkan KPU harus melakukan rekapitulasi DPT secara nasional.

Menurut dia, KPU telah melanggar aturan tersebut mengingat KPU telah mengumumkan DPT pada 24 Oktober 2008 namun tidak mencakup DPT Papua Barat dan luar negeri.

Pada Senin malam (24/11) KPU kembali mengumumkan DPT pemilu legislatif yakni 171.068.667 pemilih, dengan rincian DPT dalam negeri 169.558.775 orang dan DPT luar negeri 1.509.892 orang. DPT di 33 provinsi yang diumumkan Senin malam berbeda dari pengumuman sebelumnya pada 24 Oktober 2008 yakni 170.022.239 orang.

"Perubahan DPT jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap UU 10/2008," katanya.

Menurut Jeirry keputusan perubahan DPT ini menunjukkan KPU ceroboh dan tergesa-gesa dalam proses penetapannya. KPU telah menetapkan DPT pada 24 Oktober lalu, namun belum mencantumkan DPT Papua Barat dan luar negeri.

"Problem DPT ini menunjukkan pemutakhiran data pemilih telah gagal. Dampaknya akan muncul ketidakpercayaan dari publik," katanya.

Perubahan DPT ini berpotensi memunculkan gugatan hukum dari partai politik yang mempersoalkan daftar pemilih dikemudian hari.

"Ini membuat pemilu tidak punya kepastian hukum, kalau data terus berubah," katanya.

Untuk itu, JPPR meminta agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertindak tegas dan mengusut tuntas kesalahan dan pelanggaran KPU terkait penetapan dan pengumuman DPT.

Secara terpisah, anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widada mengatakan DPT setiap daerah tidak dapat berubah. Jika berubah, maka ini menunjukkan proses pemutakhiran data pemilih tidak optimal.

Pengumuman DPT yang dilaksanakan dua kali ini, kata Bambang, melanggar aturan sehingga harus diberikan sanksi administrasi. Namun yang berhak menjatuhkan sanksi administrasi adalah KPU itu sendiri.

Sedangkan hingga saat ini belum ada peraturan yang jelas mengatur tentang sanksi administrasi ini.

"Tetapi rekomendasi kita untuk sanksi administrasi sampai sekarang juga tidak jelas tindak lanjutnya dari KPU," katanya.

Jika pelanggaran administrasi ini terus dilakukan, ia khawatir kepercayaan masyarakat terhadap KPU menurun.

Ia juga meminta agar anggota KPU memikirkan potensi konflik yang timbul akibat perubahan DPT.

"KPU harus sensitif terhadap resiko-resiko itu," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008