Jakarta (ANTARA News) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan sekitar 200.000 pekerja akan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jangka waktu enam bulan mendatang sebagai dampak krisis ekonomi global.

Demikian diungkapkan Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kadin Indonesia Bambang Soesatyo dalam diskusi di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa.

Menurut Bambang, saat ini dunia usaha nasional mulai memasuki masa sulit. Bahkan pada Desember 2008, akan banyak perusahaan yang mengumumkan laba minus.

Salah satu kesulitan dunia usaha yang mulai memukul iklim usaha adalah  turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar AS. Rupiah telah melebihi Rp12 ribu/dolar AS, bahkan sempat menyentuh Rp13.200/dolar AS.

Pelemahan rupiah itu sudah mendekati pelemahan paling dalam ketika Indonesia dilanda krisis tahun 1998. Saat itu, rupiah sempat diperdagangkan pada level Rp16.800,-/dolar AS.

Untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah, Bambang mengharapkan adanya komunikasi yang intensif antar pejabat terkait. Komunikasi publik yang disampaikan pejabat juga harus diperhatikan secara baik, bukan justru menimbulkan kepanikan.

Pemerintah pada pekan lalu mengimbau masyarakat melepas dolarnya. Namun hal itu justru memicu masyarakat memburu dolar. Hal itu karena pernyataan pejabat kepada publik yang kurang memperhatikan aspek-aspek komunikasi publik.

Bambang juga menyoroti kebijakan Bank Indonesia yang mempertahankan SBI pada level 9,5 persen. padahal negara lain menurunkan suku bunga bank.

Dia menduga ada kepentingan tertentu dari sekelompok orang untuk mempertahankan SBI yang tinggi. Tujuannya untung keuntungan dari larinya modal ke luar negeri.

Mengenai PHK, Bambang mengungkapkan, pelemahan nilai tukar rupiah menghambat perusahaan untuk berproduksi. Di sisi lain pesanan barang dari negara lain juga menurun.

Kontrak-kontrak pemesanan barang yang mulai habis pada Desember mendatang banyak yang tidak akan diperpanjang. Karena itu, kontrak perdagangan untuk tahun mendatang diperkirakan akan menurun. Akibatnya, produksi barang akan menurun pula.

Untuk mempertahankan produksi dengan mengandalkan pasar di dalam negeri tidak mungkin karena di dalam negeri ada penurunan daya beli masyarakat.

Solusinya pembangunan infrastruktur untuk menampung tenaga kerja. Biaya dari pembangunan infrastruktur itu bersumber dari APBN yang penyerapannya sangat lamban.

"Sampai Nopember ini, penyerapan APBN baru sekitar 60 persen. Sedangkan sekitar 90 persen APBN disimpan di bank," katanya.

Solusinya lainnya adalah memperbesar penurunan harga BBM, khususnya premium dari ketetapan pemerintah Rp500,-/liter menjadi Rp1.500,-/liter. Sedangkan solar juga perlu diturunkan Rp1.000,-/liter.

Dia mengemukakan, penurunan sebesar itu akan sangat signifikan untuk menggairahkan daya beli masyarakat dan iklim usaha. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008