Bangkok (ANTARA News) - Kabar berikut dari Bangkok bisa menjadi bahan pertimbangan para korban lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur, untuk mengurungkan niat menduduki Bandara Internasional Juanda, Surabaya.

Koran The Nation, Rabu dalam lamannya memberitakan, sekelompok pakar propemerintah dipimpin Dr Weng Tochirakarn mengajukan tuduhan bahwa pendudukan dua bandara, Suvarnabhumi dan Don Mueang, oleh Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) sebagai aksi terorisme yang menyebabkan perekonomian negara rugi besar.

Weng, bersama Dr Sant Hattirat dan Prateep Ungsomtham Hata, menuduh duabelas pemimpin PAD melakukan aksi terorisme karena menduduki fasilitas publik berupa bandara internasional dari 25 November sampai dengan 3 Desember 2008.

The Nation mewartakan, para pakar Thailand itu telah melaporkan keduabelas pemimpin PAD, diantaranya pemimpin utama mereka Sondhi Limthongkul, kepada polisi atas tuduhan terorisme.

Weng menyatakan keduabelas orang itu jelas melakukan kejahatan serius karena berdasarkan Pasal 135 UU keamanan Thailand mereka telah membuat rusak dan terganggunya sistem transportasi dan infrastruktur publik serta menyebabkan kerusuhan dan teror dalam masyarakat.

Sementara itu, Bangkok Post melaporkan, maskapai penerbangan Thai Airways International (THAI) memutuskan mengajukan tuntutan kepada PAD karena telah menyebabkan maskapai terbesar Thailand itu merugi 20 miliar baht (sekitar Rp8 triliun) menyusul pendudukan bandara Suvarnabhumi dan Don Muaeng oleh PAD yang mengakibatkan pendapatan THAI terpangkas.

Wakil permanen THAI pada Kementerian Transportasi Thailand yang juga bos Thai Airways, Surachai Tansitpong, menyebut demonstrasi antipemerintah di dua bandara itu telah menempatkan perusahaan dalam posisi sulit sehingga harus membatalkan semua jadwal penerbangan selama demonstrasi berlangsung.

Rencana awal perusahaan saat ini adalah meminta bantuan keuangan (bailout) kepada pemerintah guna meningkatkan likuiditas perusahaan penerbangan nasional Thailand itu. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008