Jakarta (ANTARA News) - Indonesia menjadi incaran negara lain sebagai pasar baru karena dianggap memiliki daya beli yang masih bagus. "Indonesia itu daya belinya bagus, karena kalau tidak bagus mereka tidak mungkin jual produknya kemari. Itu tanda-tanda kenapa banyak barang impor masuk karena daya beli kita dianggap bagus," kata Menteri Perindustrian, Fahmi Idris, usai resmikan pabrik kosmetik baru Unilever di Cikarang, Jawa Barat, Rabu. Dia mengatakan dampak krisis keuangan global sangat signifikan. Negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara di Eropa termasuk paling parah terkena dampak krisis tersebut. Indonesia sendiri mulai merasakan dampak krisis pada bulan Oktober lalu, katanya. Walaupun perekonomian sempat tumbuh di atas enam persen pada triwulan pertama 2008, ekspor mulai melambat akibat daya serap negara yang menjadi pasar tradisional Indonesia melemah. Hal yang sama dirasakan negara yang memiliki tujuan ekspor sama seperti Indonesia. Sehingga dipastikan tujuan ekspor dunia akan beralih, termasuk ke Indonesia, ujar dia. "Mereka cari pasar baru terutama untuk produk tertentu. Dalam hal ini industri Indonesia dapat tantangan besar dengan semakin besarnya masuk produk legal maupun ilegal dari Cina," ujar dia. Lebih lanjut, dia mengatakan, pemerintah akan terus membuat stimulus agar industri tetap terjaga tidak terpengaruh membajirnya produk asing. Pemerintah berjanji akan terus berusaha menciptakan iklim usaha yang kondusif di 2009 dengan meminta masukan kepada seluruh stakeholder. Sementara itu, Presiden Direktur PT Unilever Indonesia Tbk, Murits Lalisang mengatakan, permintaan produk kosmetik atau perawatan kulit di Indonesia selalu ada, itu pula yang menjadi alasan perusahaan global ini memutuskan membuka pabrik baru di Cikarang, Jawa Barat. "Indonesia dipilih sebagai lokasi pembangunan pabrik `skin care` baru setelah melalui `assessment` ketat oleh Unilever Global dengan mempertimbangkan banyak hal terutama yang terkait dengan daya saing iklim investasi di Indonesia," ujar dia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008