Jakarta, (ANTARA News) - Begitu memegang tongkat komando tertinggi Polri, 9 Oktober 2008, Jenderal Pol Bambang Hendarso menegaskan kembali bahwa judi tetap menjadi salah satu atensi tindak pidana yang harus diberantas oleh Polri.

Kapolri ini menyatakan bahwa sembilan kasus kejahatann yang menjadi perhatian  saat Kapolri dijabat oleh Jenderal Pol Sutanto akan tetap berlaku.

Hendarso mengatakan, setiap Kapolda, Kapolwil, Kapolres dan para pimpinan di wilayah yang tidak sanggup untuk memberantas judi maka akan diganti.

"Jika di salah stau Polda ada judi tapi Kapolda tidak berbuat apa-apa maka akan diganti," katanya.

Kapolri pun memberikan batas waktu kepada para Kapolda, Kapolwil, Kapoltabes dan kapolres hingga akhir November 2008 untuk membuktikan bahwa mereka sanggup memberantas sembilan kasus kejahatan prioritas Polri termasuk judi.

Kesembilan kasus itu adalah judi, kejahatan jalanan, premanisme, pembalakan liar, pertambangan liar, tindak pidana perikanan, perdagangan manusia, terorisme dan Narkoba.

Pada 1 November 2008, Mabes Polri pun mengumumkan hasil penilaian kinerja jajarannya yang disampaikan oleh Inspektorat Pengawasan Umum Polri (Irwasum) Komjen Pol Yusuf Manggabarani, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Irjen Pol Alantin Simanjuntak dan Kepala Divisi Humas Irjen Pol Abubakar Nataprawira.

Yang mengejutkan adalah sebanyak enam jenderal Polri diindikasi terlibat kasus pembiaran judi saat mereka berdinas di Polda Riau.Sayang, Polri tidak menyebutkan identitas para jenderal itu.

Polri menyimpulkan ini setelah Polda Riau pada akhir Oktober 2008 menangkap A Cin, seorang bandar judi skala besar yang sejak tahun 2001 beroperasi tanpa disentuh oleh polisi.

Selain itu, sebanyak 60 perwira menengah, 46 perwira pertama dan tujuh bintara disinyalir terkait dengan kasus yang sama, kata Alantin.

"Mereka yang bertugas sebagai komandan saat terjadinya kasus judi harus ikut bertanggungjawab secara managerial. Sebagai pimpinan, mereka seharusnya tahu adanya judi di wilayahnya," kata Alantin.

Menurut dia, mereka yang menjabat di Riau dengan surat keputusan Kapolri maka akan diperiksa di Mabes Polri, yang bertugas karena surat keputusan Kapolda maka akan diperiksa di Mapolda Riau sedangkan yang lainnya akan diperiksa oleh atasannya masing-masing.

Kendati para perwira itu sudah tidak lagi berdinas di Polda Riau, namun Polri tetap akan memeriksanya karena mereka harus bertanggungjawab atas kasus ini.

"Mereka yang akan ditindak tidak mesti harus terbukti menerima uang suap. Jangankan terima uang dari bandar, tahu ada judi tapi tidak bertindak saja sudah jadi alasan untuk dibebastugaskan," katanya.

Menurut dia, judi skala besar itu telah terjadi sejak tahun 2001 namun baru ditindak akhir Oktober 2008 oleh Kapolda Riau Brigjen Pol Hadiatmoko.

"Padahal sejak tahun 2005 lalu, Pak Kapolri sudah memerintahkan untuk menindak judi, tapi tetap saja berlangsung hingga sekarang," ujarnya.

Alantin menyatakan, Polda Riau memang banyak menindak kasus judi mulai tahun 2005 namun ada salah satu bandar yang tidak pernah ditindak hingga Oktober 2008.

Akhir Oktober 2008, Polda Riau menangkap bandar judi bernama Acin dan 26 anak buahnya yang memiliki omzet hingga Rp3 miliar per hari di Jl Tanjung Datuk, Kecamatan Lima Puluh, Pekanbaru.

Polisi menyita dokumen nomor togel hingga mencapai empat karung, uang tunai Rp185 juta dan 250 Ringgit Malaysia, komputer dan mesin fax.

Acin diduga merupakan bandar judi terbesar di Sumatera, bahkan bisa juga internasional karena polisi juga menemukan togel jenis Singapura, Malaysia dan Kamboja.

Tidak hanya di Riau. Di Jakarta, lima perwira Polres Metro Jakarta Pusat dibebaskan tugasnya dari jabatannya karena diduga membiarkan judi di Hotel The Sultan.

Di Sumatera Barat, Kapoltabes Padang juga dicopot karena diduga terlibat kasus pembiaran judi togel di sana.

Di Kaltim, Kapoltabes Samarinda dicopot sedangkan di Kalbar, Kapoltabes Pontianak juga dicopot karena kasus yang sama.



Managerial

Namun, Kapolri membantah bahwa para jenderal dan para Kapoltabes itu telah menjadi beking atau menerima uang suap dari para bandar judi karena mereka ditindak sebagai bentuk tanggungjawab managerial.

"Mereka bertanggung jawab secara manajerial sebagai pimpinan dan ini bukan berarti menjadi beking dan terlibat judi," katanya menegaskan.

Tanggung jawab manajerial yang dimaksud Kapolri adalah saat menjadi kepala satuan wilayah, mereka tidak menindak tegas judi.

Irwasum Polri Komjen Pol Yusuf Manggabarani mengatakan, sebagai kepala wilayah, para perwira itu dapat dimintai tanggungjawab karena telah terjadi judi di wilayahnya.

"Kalau ada judi tapi tidak tahu, ya Kapolda atau Kapoltes harus ditindak. Berarti mereka tidak layak menjadi Kapoltabes dan diganti dengan yang lain," katanya.



Diumumkan

Menanggapi hal itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane meminta Kapolri untuk segera mengumumkan nama enam jenderal polisi yang terlibat kasus pembiaran judi saat berdinas di Polda Riau.

Ia mengatakan, pengumuman nama itu juga untuk mengetahui tingkat keseriusan Polri untuk menyelesaikan kasus ini baik secara administrasi maupun pidana.

"Langkah Polri menyebut adanya enam jenderal terlibat kasus judi itu sudah merupakan langkah maju dan berjiwa besar karena mau ungkap perwira tinggi yang bermasalah. Ini berbeda dengan sebelumnya sebab yang diumumkan selalu yang berpangkat rendah," ujarnya.

Tetapi, langkah baik Polri itu perlu disertai dengan sikap transparan dengan menyebut identitas para jenderal.

Bahkan, IPW mendapatkan informasi bahwa bukan hanya enam jenderal saja yang terlibat tapi delapan jenderal.

"Dua jenderal itu tidak bertugas di Riau tapi masih di Sumatera. Tapi nampaknya, Polri masih fokus dengan apa yang terjadi di Riau," ujarnya.

Senada Neta, anggota DPR dari FPKS Al Muzzammil Yusuf mengusulkan agar Mabes Polri mengumumkan polisi secara terbuka bagi polisi yang terlibat berbagai masalah setiap HUT Polri yang jatuh pada 1 Juli.

"Kapolri memang perlu membuat `shock therapy`, misalnya pada setiap HUT Polri akan ada pengumuman bukan saja polisi berprestasi tapi juga yang bermasalah," katanya.

Namun, untuk mengurangi gejolak di internal Polri, Yusuf meminta agar tidak diberlakukan secara surut.

Yang terjadi sekarang ini cukup menggunakan mekanisme hukuman yang ada, ujarnya, namun ke depan misalnya terhitung 1 Januari 2009 maka akan diekspose secara terbuka ke publik tidak saja dari kalangan jenderal tapi juga dari bintara.

"Sebaliknya, yang berprestasi akan diberikan penghargaan pangkat dan materi," katanya.

Jika hal itu dilakukan, katanya, maka akan efektif dapat membersihkan oknum polisi nakal sehingga reformasi Polri akan semakin sukses.

Apa yang dilakukan oleh Polri dan saran dari Neta S Pane serta Al Muzzammil Yusuf itu semakin memperkuat

dugaan bahwa banyak polisi yang selama ini bermain mata dengan para bandar judi.

Karena kasus ini menjadi atensi Kapolri maka mereka pun termasuk para jenderal juga ikut terseret.(*)

Oleh oleh Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008