Jakarta (ANTARA News) - Sutradara film, Garin Nugroho mengungkapkan budaya instan dalam pembuatan film yang kini terjadi di perfilman Indonesia lambat laun akan meruntuhkan profesionalisme sutradara film. "Sekarang saja sudah mulai kelihatan beberapa nama yang saya amati, saya tidak perlu menyebut nama ya, tapi saya amati kok kualitas film yang dihasilkan jadi jauh menurun. Ada juga yang tetap konsisten dalam film berkualitas seperti misalnya Riri Riza," katanya di Jakarta, Rabu malam (18/12). Garin mengatakn budaya membuat film cepat jadi (instan) selalu menekankan pada kecepatan membuat film dan meninggalkan segi kualitas penggarapannya. Ia mencontohkan ketika film horor dan film drama remaja sangat populer karena ditonton banyak orang. "Orang lalu ramai-ramai membuat film horor dan drama remaja, tapi ya seperti itu-itu saja hasilnya, tidak ada yang baru, tidak ada yang menonjol dari sisi cerita. Tidak ada yang membuatnya berkualitas," ujar sutradara film "Opera Jawa" dan "Under The Tree" ini. Ia menambahkan menyikapi industri film saat ini harus dengan jenius. Dalam arti jenius menciptakan pasar baru, tidak mengekor kesuksesan sebuah film, dan menjadi pencetak tren lewat sebuah tontonan yang ringan, baru, serta inovatif. "Film yang bagus itu tidak harus berat kok, bisa saja filmnya ringan tapi angkatlah sesuatu yang baru, jangan meniru yang sudah ada. Misalnya film horor dan seks, itu boleh saja kok asalkan ada sesuatu yang baru ditawarkan pada penonton dan benar-benar bagus penggarapannya" katanya. Ia menambahkan, semenarnya banyak sineas muda dengan bakat-bakat yang luar biasa dalam membuat film tapi tidak memahami pasar dengan baik. Padahal mereka sesungguhnya bisa membentuk pasar itu sendiri lewat karya-karya berkualitas. "Pada bangsa yang cerdas selalu ada kelahiran-kelahiran yang baru dalam membuat film, semoga ke depan masih banyak sutradara-sutradara ayng tidak sekedar didikte pasar, tapi berani membuat karya yang jenius, yang baru dan berbeda, serta sanggup menjadi `trend setter`," ujar Garin. Persoalan Sebelumnya dalam sebuah diskusi film, sutradara film Hanung Bramantyo mengatakan, sutradara saat ini menghadapi persoalan ketika akan membuat film. Produser selalu menanyakan tentang siapa pasar film yang disasar dan apakah ada jaminan film itu akan sukses atau tidak. "Di Indonesia sutradara harus ikut menentukan kelahiran film ini di masyarakat, ikut berpikir soal penayangan dan estetika. Padahal tugas sutradara harusnya hanya berpikir soal skenario film sampai film itu ditayangkan," katanya. Ia menambahkan, film yang diminati sebagian produser bukan yang sinematografi dan temanya bagus, tapi ditanya soal pasar filmnya dan apakah ada jaminan film itu akan sukses. "Ketika saya sodorkan film agak berat tentang Gerwani pada produser, yang mereka tanyakan bukan soal bagaimana kira-kira gambaran film ini nantinya, tapi mereka tanyakan siapa yang akan menonton dan berapa estimasi jumlah penontonnya, dan pertanyaan ini membuat saya berhenti bikin film itu," katanya seraya tersenyum. Hanung mengatakan, fenomena yang terjadi saat ini, produser juga bisa mendikte dan memaksa sutradara untuk membuat film dalam waktu yang singkat tanpa memperhatikan segi estetika film itu. "Sekarang ini produser bisa saja memilih waktu kapan filmnya akan ditayangkan meskipun film itu belum dibuat, dan ada sejumlah produser yang sudah mendaftarkan filmnya ke bioskop walaupun baru punya judul filmnya saja," katanya. Keadaan ini, lanjutnya, membuat sutradara tertekan dan bekerja bukan atas dasar hasil yang memuaskan. Sutradara bekerja di bawah tekanan jadwal tayang film yang sudah ditentukan oleh produser tanpa mempertimbangkan soal molornya jadwal produksi.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008