Mekkah (ANTARA News) - Seorang jamaah haji, sebut saja Andi, datang ke Pusat Penerangan di Wisma Indonesia Aziziah, Mekkah. Ia harus menunggu sekitar 30 menit sebelum dilayani petugas yang sibuk di depan komputer. Andi ingin mengetahui nomor rumah dan tempat pemondokan saudaranya yang tengah berhaji.

Kepada petugas, Andi menyebutkan tanggal keberangkatan saudaranya pada 17 November 2008 dari Embarkasi Jakarta, berasal dari Kabupaten Pandeglang, Banten. Petugas bertanya nomor kloter dan nama maskapai penerbangan yang digunakan. "JKS (Saudi) atau JKG (Garuda)", tanya petugas.

Andi tergagap tidak bisa menjawab. Petugas itu mengatakan, informasi yang disampaikan tidak cukup. Ia meminta Andi kembali dengan membawa nomor maskapai penerbangan yang dipakai saudaranya. Alhasil, Andi harus pulang dengan "gigit jari". Ia tidak memperoleh informasi yang dicarinya di tempat yang disebut sebagai Pusat Penerangan.

Bayangkan bila Andi tinggal di Ka'kiah atau Shauqiah, dua kawasan yang tahun 2008 banyak dihuni jamaah haji Indonesia. Entah berapa puluh riyal ia harus keluarkan untuk bolak-balik Kakiah-Aziziah hanya untuk mengetahui informasi pemondokan saudaranya itu.

Mestinya komunikasi bisa dilakukan lebih mudah dan efisien dengan memanfaatkan teknologi. Namun, nomor telepon Pusat Penerangan tidak terpampang di pemondokannya. Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) 2008 tidak menyediakan buku saku yang berisi nomor penting petugas haji, informasi nomor telpon bila tersesat, atau peta Mekkah dan pemondokan yang berubah drastis pada 2008.

Informasi itu yang bisa dilengkapi dengan tempat-tempat makan dan daftar istilah sederhana bahasa Arab cukup membantu jamaah selama tinggal di Mekkah.

Lain lagi pengalaman Hamdani Amin, Kloter 39, yang berasal dari Kota Metro Lampung, dan tinggal di Pemondokan 420, Maktab 62. Saat sampai di Mekkah dalam keadaan berihram, Hamdani harus menunggu selama lebih dari 24 jam karena pemondokannya sudah ditempati oleh jamaah dari Subang, Jawa Barat.

Hamdani dan rombongan akhirnya berinisiatif menyelesaikan umrah wajib dengan meninggalkan barang-barang di luar kamar pemondokan. Setelah kembali dari umrah, pemondokan haji tidak serta-merta diperolehnya.

Masalah haji

Kisah Hamdani dan Andi hanya sebagian dari banyaknya permasalahan yang dihadapi jamaah selama musim haji tahun 2008/1429 H. Menteri Agama Maftuh Basyuni harus lapang dada menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh jamaah haji Indonesia atas pelayanan haji yang belum sepenuhnya memuaskan.

Maftuh menunda kepulangan ke Indonesia dan masih menyisir pemondokan yang terletak sangat jauh dari Masjidil Haram, sekaligus menemui dan meminta maaf kepada jamaah.

Maftuh berjanji melakukan tindakan tegas kepada pejabat berwenang dalam urusan haji dan pelaksanaan haji tahun ini bila ditemukan adanya kepentingan pribadi aparat yang menyebabkan kerugian bagi jamaah.

Penentuan lokasi pemondokan haji ditentukan oleh PPIH yang didukung oleh survei kelayakan dan tim verifikasi dari Depag dan Tim Pengawas Komisi VIII DPR. Rumah atau hotel yang menjadi alternatif pemondokan haji wajib memiliki izin dan telah memenuhi persyaratan kenyamanan dan air bersih yang memadai.

Pemerintah Saudi berhak mencabut izin itu jika ditemukan ada pemondokan yang nakal dan tidak memenuhi persyaratan minimal yang telah ditetapkan.

Menag juga mengadakan pertemuan dengan pejabat Kerajaan Saudi dan pemilik pemondokan untuk memastikan musim haji tahun ini aman dan dekat dengan Masjidil Haram. Dengan proaktif tersebut, Menag tampak tenang menghadapi aksi sejumlah anggota Komisi VIII DPR yang melayangkan usulan Hak Angket DPR pada 16 Desember 2008.

Hak Angket ditanggapi Menag dengan positif. "Silakan, lakukan penyelidikan secara jujur agar reformasi haji yang sedang saya lakukan bisa tuntas," katanya, kepada penulis di Aziziah.

Isu penting

Selain Hak Angket yang akan menjadi bola panas menjelang Pemilu 2009, isu tuntutan pelayanan haji yang semakin adil dan bermartabat sesungguhnya merupakan isu terpenting dan terus dinantikan oleh seluruh jamaah haji dan rakyat Indonesia.

Salah satu komitmen keadilan bagi jamaah yang telah diterjemahkan oleh Menag adalah pengembalian uang jamaah, di luar uang biaya hidup, yang telah dimulai pada pelaksanaan haji tahun ini.

Menag memerintahkan pengembalian uang jamaah itu lantaran lokasi pemondokan jamaah haji ada yang terletak dekat dan jauh dari Masjidil Haram.

Pada musim haji sebelumnya, jamaah haji yang tinggal dekat mensubsidi jamaah yang tinggal lebih jauh. Padahal, biaya sewa pemondokan yang dekat tentunya lebih tinggi dibandingkan yang jauh. Penulis ingat pengalaman berhaji dengan ONH biasa pada 2000 yang kebagian hasil undian pemondokan di dekat Masjidil Haram (Apartemen Hyatt di Mekkah dan Hotel Haramain di kawasan Markaziah Madinah).

Sungguh kurang adil bila mereka yang tinggal jauh tidak mendapat pergantian, setidaknya pengganti biaya transportasi. Pada tahun-tahun sebelumnya, kelebihan dana itu dimasukkan ke dalam rekening Dana Abadi Umat (DAU).

Pelayanan haji yang bermartabat nampaknya menjadi harapan seluruh jamaah haji yang ingin menjalankan ibadah dengan tenang dan nyaman, bahkan telah menjadi salah satu kesimpulan dari Rapat Evaluasi Komisi VIII DPR dengan PPIH yang dipimpin oleh Ketua Komisi VIII Hazrul Azwar dan Sekjen Depag Bahrul Hayat, pada 12 Desember 2008.

Pelayanan yang bermartabat terkait fungsi dari jumlah agregat dari manfaat yang diperoleh dari segi kenyamanan pemondokan, kedekatan dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, pelayanan katering dan transportasi, yang dibandingkan costs atau pengorbanan yang dikeluarkan jamaah, baik berupa Ongkos Naik Haji (ONH), penderitaan karena pemondokan kurang layak dan dampak yang timbul karena layanan transportasi.

Lebih parah lagi, pelayanan seadanya para pengemudi dari Mesir yang disewa oleh pemenang tender transportasi haji Indonesia, Ummul Quro, menambah penderitaan sebagian jamaah haji yang menggantungkan diri pada layanan angkutan bus yang disediakan PPIH.

Belakangan baru diketahui, Ummul Quro hanya menyiapkan 600 pengemudi yang mengoperasikan 600 bus selama 24 jam sehari. Jelas, dari segi perencanaan saja, PPIH melakukan ketidaksigapan, sebab mana mungkin seorang dapat bekerja 24 jam non-stop.

Dari sejumlah pengamatan tersebut muncul pertanyaan apakah pelayanan haji yang bermartabat bersifat given yang merupakan rutinitas PPIH atau merupakan sebuah komitmen perencanaan dan pengendalian dari PPIH yang tercermin dari perencanaan strategi dan eksekusi yang matang?

Penulis memilih jawaban kedua. Pelayanan yang bermartabat, komitmen terhadap perencanaan strategi dan pengendalian atas pelaksanaan manajemen haji yang dilakukan secara cermat dan rinci sampai pada tingkat pelaksanaan sehari-hari.

Ada perencanaan yang menyeluruh dan rentang kendali efektif dari Teknis Urusan Haji (TUH) sampai pelaksanaan tugas para pimpinan Daerah Kerja (Daker) di Jeddah, Madinah dan Mekkah sampai para komandan Sektor yang membawahi ratusan pemondokan.

Permasalahan mendasar yang sering dijumpai di Daker Makkah, terkait lemahnya respon dari pimpinan Sektor untuk menindaklanjuti pengaduan jamaah haji yang melaporkan permasalahan fasilitas pemondokan.

Kepala TUH Nursomad Kamba mengakui ada kelemahan respon dari beberapa pimpinan Sektor dalam menghadapi keluhan jamaah haji di pemondokan. Kondisi ini diperparah oleh sebagian pimpinan Sektor yang tidak menguasai medan yang dipimpinnya selain ketidakmampuan dalam penguasaan bahasa Arab.

Kehadiran Tenaga Musiman (Temus) haji mahasiswa Indonesia yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah sedikit banyak membantu menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi jamaah haji selama di Tanah Suci.

Menag mengatakan pada pelaksanaan haji mendatang para pimpinan sektor dan kloter akan lebih ketat persyaratannya. Selain memiliki karakter pelayanan dan sigap terhadap permasalahan, juga setidaknya mengusai bahasa Arab yang dapat memudahkan komunikasi dengan mitra-mitra kerja di Saudi. Petugas-petugas tersebut tidak selalu harus berasal dari Depag, melainkan bisa berasal dari petugas TNI, Pramuka atau dosen-dosen IAIN dari seluruh Indonesia.

Keputusan evaluasi

Menentukan standar pelayanan yang bermartabat merupakan agenda pertama yang nampaknya harus dituntaskan Menag untuk memperbaiki pelaksanaan haji musim mendatang, selain melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap kinerja jajarannya pada pelayanan haji tahun ini.

Pengamatan penulis, kelemahan terbesar PPIH adalah lemahnya tindak lanjut dari hasil-hasil keputusan rapat evaluasi yang berulang kali dilakukan dalam mengatasi krisis pemondokan dan transportasi haji tahun ini.

Dalam beberapa rapat evaluasi yang dilaksanakan di kantor TUH dan Konjen Jeddah, yang dihadiri sejumlah pejabat Depag yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan haji di luar Menag, yang penulis hadiri, tidak terungkap visi pelayanan haji yang seharusnya dimiliki oleh jajaran Depag.

Pelayanan haji telah menjadi rutinitas. Ini adalah pekerjaan rumah dari Menag, agar visi pelayanan haji yang merupakan bagian dari reformasi haji yang sedang dijalankan Menag harus tersosialisasi kepada para pejabat dan seluruh aparat Depag yang mengurusi haji.

Perlu ada visi bersama yang lebih efektif dari Menag kepada seluruh jajaran paling operasional. Kesan yang muncul adalah berbagai permasalahan aktual dalam pelaksanaan haji tahun ini yang terkait dengan dampak jauhnya pemondokan dan transportasi disepakati dengan beberapa solusi yang cukup komprehensif, namun efektifitas pelaksanaannya di lapangan masih dipertanyakan.

Sebagai contoh kesepakatan antara Komisi VIII dan PPIH pada 29 November 2008 tentang dua solusi transportasi. Pertama, setiap bus akan melekat pada kloter, sehingga pimpinan kloter dapat mengatur jadwal keberangkatan dan kepulangan jamaah dari Masjidil Haram. Kedua, ada bus tambahan untuk menyisir jamaah haji yang ketinggalan di Masjidil Haram.

Dua solusi cerdas tersebut disepakati mulai dijalankan mulai 30 November 2008, namun pemantauan penulis di lapangan dan wawancara dengan beberapa pimpinan kloter, solusi tersebut kurang efektif ketika sampai pada pelaksanaan. Padahal, dalam manajemen krisis berlaku "bahaya terbesar saat krisis adalah ketika seseorang menyelesaikan masalah krisis hari ini dengan solusi hari kemarin".

Dalam sebuah kesempatan, Menag terpaksa harus memarahi seorang anggota PPIH yang menyatakan terima kasih kepada Menag karena bisa berangkat ke Mekkah sebagai petugas dan berkali-kali dapat beribadah di Masjidil Haram. Menag menegaskan bahwa tugas utama PPIH adalah melayani jamaah di sektor-sektor, dan dapat beribadah di Masjidil Haram pada waktu yang lebih bijak.

Contoh kedua, adalah pelaksanaan hasil keputusan Rapat Evaluasi PPIH yang langsung dipimpin Menag pada 2 Desember 2008 yang menyepakati solusi proaktif di lapangan agar seluruh pimpinan Daker dan sektor mendatangi seluruh pemondokan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi terkait dalam berbagai keluhan terhadap fasilitas pemondokan dan transportasi.

Selain solusi proaktif tersebut, agar para jamaah lebih tenang menjalankan ibadah saat H-4 dan H+3 disepakati pemberian makan tambahan, terlebih lagi pada hari-hari tersebut layanan transportasi bus dihentikan mengingat kemacetan luar biasa yang terjadi di Mekkah menjelang dan sesudah puncak haji di Armina.

Agar kesepakatan tersebut berjalan efektif tentunya dibutuhkan evaluasi harian yang bersifat rinci, sehingga keluhan-keluhan yang dihadapi jamaah dapat diatasi. Penulis menemukan semua kesepakatan tersebut tidak berjalan semestinya, bahkan banyak ditemukan di beberapa sektor makanan katering hak jamaah menumpuk tidak tersalurkan ke pemondokan, lantaran lemahnya sosialisasi dari Daker ke Sektor, dan dari Sektor ke pemondokan-pemondokan.

Dari semua uraian tersebut, penulis berkesimpulan bahwa tema "kerja cerdas, kerja keras, dan kerja ikhlas" yang menjadi semboyan para petugas haji sebenarnya telah dilaksanakan oleh para anggota PPIH, terutama para petugas di lapangan yang bekerja dengan dedikasi yang tinggi, namun ada persoalan manajerial yang masih terjadi di lapangan.

Ibarat dalam peperangan, ada istilah yang bijak "there is no stupid soldiers but the lazy commander". Entah siapa komandan dari pelaksanaan haji ini? Tidaklah bijak saling menuding siapa yang salah dalam banyaknya permasalahan haji tahun ini sebab persetujuan tarif pemondokan dari Komisi VIII DPR juga terlambat yang menyebabkan melangitnya harga sewa pemondokan-pemondokan di sekitar Masjidil Haram.

Alangkah bijaknya bila kesalahan ini diakui sebagai kekurangan kolektif seluruh pihak yang terlibat dalam manajemen haji tahun ini. Sungguh, sebuah langkah yang bijaksana juga, bila Menag melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap pelaksanaan haji tahun ini untuk perbaikan haji tahun depan.

Selain melakukan juga penyelidikan internal jika terdapat oknum yang masih bermain-main dengan hak pelayanan jamaah haji yang bermartabat itu. Kalau ada yang berani "bermain-main", dengan masalah itu, tentu perlu diberi sanksi tegas.(*)

Oleh oleh Dr. Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008