Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Telapak, dan Institute Indonesia Hijau, menyatakan, dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada 13 perusahaan kayu yang tersangkut kasus illegal logging, merupakan preseden buruk di akhir tahun terhadap upaya penegakkan hukum lingkungan hidup. "Preseden buruk juga bagi pemberantasan illegal logging yang dikampanyekan oleh pemerintah, dan patut diduga kuat adanya konspirasi di balik keluarnya SP3 tersebut," kata peneliti ICW, Febridiansyah, di Jakarta, Jumat. Ke-13 perusahaan tersebut, tujuh perusahaan berasal dari kelompok PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), di antaranya PT Madukoro dan PT Nusa Prima Manunggal (NPM) di Kabupaten Pelalawan, PT Bukit Batubuh Sei Indah (BBSI), PT Citra Sumber Sejahtera (CSS), dan PT Mitra Kembang Selaras (MKS) di Kabupaten Indragiri Hulu, PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL). Kemudian sisanya, merupakan kelompok PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) seperti PT Arara Abadi, PT Bina Duta Laksana (BDL) di Kabupaten Indragiri Hilir, dan PT Rimba Mandau Lestari (RML) di Kabupaten Siak. Ia mengatakan pemberian SP3 itu merupakan bukti bahwa negara sedang memimpin percepatan perusakkan hutan lewat kebijakan illegal logging. "Negara juga telah menjadikan peradilan dan proses hukum, sebagai rumah aman bagi para penjahat lingkungan," katanya. Dikatakan, alasan tidak ditemukannya unsur melawan hukum dan keterangan saksi ahli yang digunakan sebagai dasar SP3, mengada-ngada dan tidak berdasar. "Kami memandang bahwa pihak penyidik telah mengabaikan dan tidak dijadikannya pertimbangan keterangan saksi ahli dari para akademisi (Institut Pertanian Bogor (IPB)), yang menyatakan adanya kerusakan lingkungan hidup dan kesalahan perizinan, yang menguatkan temuan-temuan Walhi sebelumnya," katanya. Hal senada dikatakan oleh Eksekutif Nasional Walhi, M Teguh Surya, yang menyesalkan adanya SP3 bagi perusahaan pelaku illegal longging. "SP3 ini tentu saja merupakan bagian dari buruknya penegakkan hukum pemberantasan illegal logging," katanya. Karena itu, ketiga LSM tersebut meminta Kapolri memeriksa Polda Riau yang menangani kasus itu dan menjatuhkan sanksi, serta jaksa agung diminta memeriksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau yang menangani perkara tersebut. Kemudian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta untuk segera memanggil Kapolri, Jaksa Agung, Menteri Lingkungan Hidup, dan menteri kehutan untuk menjelaskan kasus tersebut, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut kasus illegal logging sebagai tindak pidana korupsi. Sebelumnya dilaporkan, Kejaksaan Tinggi Riau memutuskan untuk menghentikan proses penyidikan 13 kasus pembalakan liar yang melibatkan pihak perusahaan di Provinsi Riau. Hal tersebut mengemuka dalam jumpa pers yang digelar Kejaksaan Tinggi Riau dan Polda Riau di Pekanbaru, Senin (22/12). "Kasus terpaksa dihentikan karena unsur melawan hukum lemah," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Riau, Suroso SH. Sebanyak 13 kasus yang "dipetieskan" tersebut merupakan hasil operasi Polda Riau untuk memerangi illegal logging di Riau selama tahun 2007. Pada masa itu, tercatat 189 kasus kejahatan hutan berhasil diungkap oleh Kapolda Riau yang saat itu dijabat Brigjen Pol Sutjiptadi.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008