Jakarta (ANTARA News) - Gedung bercat putih itu tampak kusam dan rusak di sana-sini. Tak ada kusen-kusen, daun pintu dan daun jendela. Tidak ada lagi dinding-dinding penyekat yang di dalamnya kosong-melompong dan lumut di sana-sini. Gedung itu menyimpan suatu cerita yang menyedihkan dan mencekam yang pernah terjadi di sana empat tahun silam. Ya, itulah bangunan bekas Markas Komando Resort Militer 012 Teuku Umar di Desa Ujung Karang, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Nanggoe Aceh Darussalam (NAD), yang posisinya hanya sekitar 200 meter dari bibir Pantai Ujung Karang. Gedung tersebut menjadi saksi mata sekaligus gedung pertama yang diterjang gelombang tsunami yang masuk ke Kabupaten Aceh Barat dari Pantai Ujung Karang tanggal 26 Desember 2004. Gedung itu menjadi saksi mata saat masyarakat setempat menjerit ketakutan seraya berlari berhamburan menyelamatkan diri dari amukan tsunami. Sebuah bencana mengerikan di abad ini karena menewaskan 127.080 jiwa dan korban hilang 116.344 jiwa di seluruh tanah Aceh. "Karena itulah, pada Peringatan Empat Tahun Tsunami, yang kali ini diselenggarakan di Kabupaten Aceh Barat, kami memilih lokasi di lapangan Makorem, persis di depan gedung ini. Lokasi Makorem ini adalah titik pertama saat gelombang tsunami masuk dari Pantai Ujung Karang dan menenggelamkan Aceh Barat," kata Bupati Aceh Barat Ramli MS kepada ANTARA News sehari sebelum acara peringatan tersebut. Peringatan berlangsung sederhana di Lapangan Ex Makorem 012 Teuku Umar, Jumat (26 Desember 2008), tepat empat tahun musibah gempa dan tsunami yang meluluhlantakan Aceh. Sayangnya, acara itu tidak dihadiri para Menteri, Gubernur NAD, bahkan Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) - Nias, Kuntoro Mangkusubroto. Hadir dalam acara itu pejabat dilingkungan Pemerintah Provinsi NAD seperti Wagub NAD Muhammad Nazar dan Bupati Aceh Barat, Ramli MS. "Kami mohon maaf karena urung hadir berhubung harus memenuhi janji kami kira-kira 3,5 tahun lalu bahwa bila tugas berat ini dapat kami laksanakan sesuai amanah, maka kami akan melaksanakan salat sunnah dua rakaat di pusara ulama besar Aceh, Teungku Syiah Kuala di Banda Aceh, pada tahun ke empat musibah tsunami," demikian Kuntoro Mangkusubroto dalam sambutannya yang dibacakan Deputi Kelembagaan BRR, Iqbal Faraby, saat acara tersebut. Kuntoro mengatakan, pada 16 April 2009 sesuai dengan UU No 10/2005, lembaga BRR akan ditutup dan program kerjanya selesai. "Kami mohon pamit," kata dia dalam pidato tertulisnya. Pada kesempatan itu dipaparkan, setelah bertugas 3,5 tahun, lembaga ini telah membangun dan merehabilitasi sebanyak 124.454 unit rumah, 3.005 kilometer jalan, 266 unit jembatan, 954 unit puskesmas, rumah sakit dan poliklinik. Selanjutnya menyelesaikan pembangunan 1.450 unit sekolah, 979 unit kantor pemerintah, 12 unit bandar udara, 20 unit pelabuhan laut, dan 103.273 hektar lahan pertanian. Disebutkan, sisa anggaran BRR sekitar Rp4 empat triliun rupiah telah disiapkan untuk menjamin keberlanjutan rehabilitasi dan rekonostruksi Aceh dan Nias. Dana tersebut akan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi NAD dan lembaga-lembaga kementerian terkait. Seusai acara peringatan empat tahun tsunami tersebut, sejumlah mahasiswa dan pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) menggelar aksi unjukrasa di tengah Kota Meulaboh untuk mengkritik kinerja BRR. Mereka juga mengusung spanduk dan poster yang bertuliskan dugaan terjadinya penyelewengan dana rehabilitasi oleh BRR serta kualitas konstruksi bangunan-bangunan BRR yang sangat rendah , sehingga tidak bisa ditempati para pengungsi korban tsunami. Bantahan Bupati Aceh Bupati Aceh Barat Ramli MS sehari sebelumnya (25/12) kepada wartawan membantah pemberitaan media massa bahwa pihaknya menolak penyerahan aset-aset yang telah dibangun pihak Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) bagi para korban tsunami. Dia mengatakan bahwa pihaknya hanya menginginkan verifikasi lebih rinci mengenai aset-aset yang diserahkan, karena terdapat perbedaan antara jumlah nilai yang diserahkan dengan apa yang tersebar luas di media massa. "Dalam laporan BRR tersebut dikatakan bahwa jumlah aset yang diserahkan untuk Pemda Aceh Barat senilai Rp45 miliar, sementara yang terungkap di media massa angkanya jauh melebihi itu. Ini yang kami ingin verifikasi karena menyangkut pertanggungjawaban saya pada rakyat," kata Bupati di Meulaboh. Media massa sebelumnnya memberitakan bahwa Ramli menolak menandatangani penyerahan aset-aset yang dibangun BRR-NAD Aceh Barat. Lembaga tersebut beserta lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing menurut rencana akan mengakhiri program kerja mereka di provinsi NAD pada April 2009. Dia mengatakan bahwa dirinya tidak ingin disalahkan rakyat. "Kalau saya tandatangani laporan penyerahan aset, padahal belum terbangun apa-apa, nanti apa kata rakyat?" kata Ramli. Pada kesempatan itu, Bupati juga mengeluh bahwa aset-aset yang dibangun BRR, seperti halnya rumah-rumah bagi para korban bencana tsunami serta tanggul-tanggul laut, umumnya berkualitas rendah. Rumah-rumah yang dibangun seringkali tidak bisa ditempati. "Sebanyak 70 persen aset-aset yang dibangun BRR tidak bagus. Tapi yang dibangun oleh LSM-LSM asing justru bagus," kata Ramli. Sementara itu, juru bicara BRR Juanda Djamal yang dihubungi ANTARA via telepon di Meulaboh , Kamis (25/12), menyatakan bahwa nilai aset yang diserahkan sebesar Rp45 miliar sebetulnya belum final dan belum mencakup seluruh aset yang dibangun BRR di Aceh Barat. "Aset yang akan kami serahkan senilai Rp45 miliar itu adalah aset yang telah diverifikasi keberadaan dan kualitasnya serta memang betul-betul bisa diserahkan. Aset baru bisa diserahkan setelah ada kesepakatan kedua belah pihak," kata Juanda Djamal. Dia menjelaskan bahwa kesepakatan akan tercapai setelah dilakukan verifikasi oleh sebuah tim yang beranggotakan anggota BRR dan pejabat Pemerintahan Kabupaten. "Jadi saya agak heran juga kalau dibilang hendak minta verifikasi karena sebetulnya aset-aset yang senilai Rp45 miliar itu sudah diverifikasi oleh tim yang beranggotakan pejabat Pemkab Aceh Barat juga," kata dia. Pada kesempatan itu, Juanda juga membantah anggapan bahwa kualitas aset-aset yang diserahkan BRR sangat rendah dibanding LSM-LSM asing. "Proyek-proyek LSM asing itu kan dikerjakan oleh para kontraktor, ya sama saja dengan kami. Namun demikian, kami sangat terbuka dengan kritikan masyarakat. Kalau memang ada proyek bangunan kami yang tidak berkualitas baik, maka pasti akan kami perbaiki sebelum kami serahkan," kata Juanda Djamal. Dalam pidato tertulisnya pada acara Peringatan Empat Tahun Tsunami, Kuntoro sempat menyatakan permintaan maaf bila masih ada ketidaksempurnaan dalam penanganan proyek-proyek BRR di wilayah ini. "Kami menyadari menangani ratusan proyek pembangunan dalam waktu sangat singkat pasti akan ada kekurangannya. Karena itu kami minta maaf atas ketidaksempurnaan yang ada," demikian Kuntoro.(*)

Oleh oleh Yuri Alfrin Aladdin
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008