Jadi bayangkan 30,8 persen atau sekitar 8 juta anak Indonesia tiap tahun menderita stunting dan akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak mungkin dapat lulus SD apalagi mampu bersaing dalam berbagai hal,
Jakarta (ANTARA) - Penurunan angka stunting pada anak di Indonesia dinilai sangat memerlukan dukungan infrastruktur regulasi dari pemerintah sehingga persoalan tersebut dapat ditangani secara menyeluruh.

Pengamat dan aktivis kesehatan DR. Dr. Tubagus Rachmat Sentika, SpA, MARS, di Jakarta, Senin, menilai saat ini masih kurang infrastruktur regulasi khususnya di Kementerian Kesehatan dalam upaya penanganan masalah stunting secara menyeluruh.

“Meski begitu tetap perlu diapresiasi tekad Pemerintah dalam upaya menurunkan angka stunting,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Deputi Menko PMK pada 2014-2016 itu.

Menurut Rachmat Sentika, meskipun Kementerian Kesehatan telah menerbitkan aturan tentang Tata Laksana Gangguan Gizi Akibat Penyakit melalui Permenkes 29 tahun 2019 namun implementasinya masih belum berjalan dengan baik.

Baca juga: Kemenkes:Indonesia butuh inovasi turunkan kekerdilan hingga 19 persen

“Aturan tersebut jelas sekali menyebutkan bahwa penanganan stunting harus dilakukan melalui pengawasan dan penemuan kasus oleh Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan selanjutnya bila ditemukan gangguan gizi baik gizi buruk, gizi kurang, kurus, alergi atau masalah medis lainnya harus diberikan Pangan Khusus Medis khusus (PKMK),” jelas Rachmat.


Rachmat Sentika menambahkan, seharusnya semua Puskesmas dan rumah sakit wajib menyediakan anggaran PKMK selain anggaran PMT untuk menangani gangguan gizi yang akan berdampak pada stunting.

“Menkes Terawan sebaiknya segera memimpin penanggulangan gangguan gizi dengan pemberian PKMK untuk anak gangguan gizi berumur 2 tahun atau 3 tahun ke bawah agar anak stunting tidak bertambah,” katanya.

Menurut dia, selama ini apa yang dirancang dan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan ternyata tidak seefektif yang diharapkan.

Baca juga: Kemenkes: Stunting tinggi di NTT dipengaruhi persoalan kompleks

“Terlihat tidak ada sinergitas antara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) dalam penanganan stunting,” katanya.

Dalam 4 tahun ini Kementerian Kesehatan menghabiskan dana triliunan rupiah dengan pemberian makanan tambahan berupa biskuit. Biskuit terkesan menjadi primadona Kementerian Kesehatan dalam penanganan stunting.

Padahal biskuit merupakan makanan makronutrien yang berfungsi untuk mencegah anak agar tidak jatuh pada gangguan gizi.

Bagi 30 persen anak yang sudah mengalami gangguan gizi harus diberikan mikronutrien dalam bentuk PKMK tadi.

“Dan Pemerintah harus menyediakan PKMK itu di seluruh fasilitas kesehatan baik Puskesmas maupun Rumah Sakitnya. Sekali lagi saya berharap Menkes Terawan agar bertindak strategis, tidak salah kaprah karena ini menyangkut kualitas hidup dan masa depan bangsa,” kata Rachmat Sentika.

Stunting atau gagal tumbuh adalah tinggi badan tidak sesuai dengan ukuran normal. Oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), stunting dijadikan ukuran kualitas hidup anak suatu negara. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat ada 30,8 persen balita di Indonesia termasuk stunting.

Baca juga: Yayasan 1000 Hari sebar 12 ribu poster stunting di 22 pulau

Jika balita mengalami masalah gizi dalam usia di bawah 2 tahun artinya perkembangan dan pertumbuhan otak dan sarafnya terganggu. Tingkat kecerdasannya sangat rendah. Semua anak yang mengalami stunting mempunyai IQ yang rendah.

“Jadi bayangkan 30,8 persen atau sekitar 8 juta anak Indonesia tiap tahun menderita stunting dan akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak mungkin dapat lulus SD apalagi mampu bersaing dalam berbagai hal,” katanya.

Presiden Joko Widodo telah menugaskan Menkes Terawan untuk menyelesaikan dua persoalan strategis yaitu BPJS Kesehatan dan Stunting.

Kementerian Kesehatan juga telah menerbitkan aturan tentang Tata Laksana Gangguan Gizi Akibat Penyakit melalui Permenkes 29 tahun 2019 namun implementasinya masih belum berjalan dengan baik karena belum ada aturan aturan lanjutan untuk mendukung pelaksanaan Permenkes tersebut.

Rachmat berharap, pejabat berwenang di Kemenkes segera menata ulang regulasi untuk mendukung Permenkes 29 tahun 2019 agar anak Indonesia bebas dari stunting dan menjadi generasi penerus yang unggul.

PKMK merupakan minuman dengan kalori 100 dan 150. Nutrisinya berisi elementeri diet berupa asam amino, glukosa, asam lemak dan mikronutrien yang secara evidence base sangat cocok untuk anak-anak di bawah dua tahun yang mengalami gangguan gizi.

Penelitian intervensi yang dilakukan oleh Profesor Damayanti dari RSCM di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2018 menunjukkan bahwa anak-anak dengan gizi buruk/kurang naik secara signifikan setelah diberikan PKMK dalam dua bulan.

Dalam rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) akhir pekan ini, Panitia HPN juga menggelar seminar dengan tema upaya penurunan stunting yang menghadirkan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhajir Effendi serta Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto.

Kedua menteri kembali menegaskan pentingnya atasi masalah stunting demi mewujudkan generasi unggul di era Indonesia emas tahun 2045 mendatang. Dukungan serupa juga diberikan oleh pejabat lain seperti Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Pedesaan dan Daerah Tertinggal Abdul Halim Iskandar.

Baca juga: 160 kabupaten tinggi "stunting", Wapres Ma'ruf bentuk tim terpadu
Baca juga: Program sembako diharapkan bantu kurangi stunting
Baca juga: Dokter: Posyandu bantu deteksi dan cegah anak gizi buruk

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020