Namun hubungan baik itu tidak menjadikan suksesi Wagub DKI mulus. Bahkan sampai 1,5 tahun belum juga tuntas
Jakarta (ANTARA) - Terhitung sejak 10 Agustus 2018, perubahan terjadi di komposisi pimpinan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Perubahan yang cukup mengejutkan tetapi sudah banyak pihak memperkirakan. Hal itu karena telah terlihat dari perkembangan demi perkembangan situasi politik yang mulai hangat menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Jumat siang itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno menyampaikan surat pengunduran diri ke Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan. Inilah perubahan itu.

Pengunduran diri itu terkait dengan Pilpres 2019. Sandiaga sudah memantapkan diri menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Calon Presiden Prabowo Subianto. Bahkan pasangan ini sudah mendeklarasikan pada Kamis (9/8/2019) malam.

Ketika tiba di Balai Kota, Jakarta Pusat, Jumat siang, Sandiaga dengan wajah sedih menyampaikan salam perpisahan kepada Anies dan para pegawai balai kota. Sandiaga langsung mengembalikan mobil dinas, salah satunya Land Cruiser bernopol B 1764 PQH.

Sandi mengaku akan sangat merindukan Balai Kota DKI. "Saya sedihlah," katanya.

Dia juga mengaku sebenarnya ingin di balai kota lebih lama hingga akhir. Dia tentu merasakan betapa berat perjuangan untuk bisa duduk di kursi DKI-2.

Publik bisa melihat dan mengikuti betapa perjuangan itu berliku-liku dan penuh riak di masyarakat. Yang pasti sangat tidak mudah mengalahkan "incumbent" Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menggandeng Djarot Saiful Hidayat sebagai cawagub.

Tetapi keputusan atas pilihan-pilihan politik sudah diambilnya. Sandi hanya di bali kota sekitar 10 bulan sejak dilantik bersama Anies pada akhir Oktober 2017.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (ketiga kanan) dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno (kiri) bersalaman dengan pegawai Pemprov DKI dan warga Jakarta saat halal bihalal, di Balaikota, Jakarta, Kamis (21/6/2018). Warga dan PNS yang akan bersalaman dengan Gubernur dan Wagub DKI Jakarta antre di depan pintu masuk gedung Balai Kota DKI Jakarta sebelum dipersilakan masuk tepat pukul 08.00 WIB. (ANTARA FOTO/ Reno Esnir)
"Pisah Jalan"
Terhitung sejak 10 Agustus 2018 itu, pasangan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 akhirnya "pisah jalan" karena beda pilihan politik. Tetapi perpisahan itu tanpa dilatari konflik, bahkan keduanya tampak serasi dan saling melengkapi dalam memimpin DKI Jakarta.

Sejak pengunduran diri Sandiaga dari Wagub DKI, upaya mencari penggantinya terus dilakukan oleh partai-partai pengusung pasangan Anies-Sandi di pilkada. Namun kenyataannya tidak semudah membalikan telapak tangan.

Bahkan sampai pertengahan Februari 2020, proses suksesi Wagub DKI belum kelar juga. Prosesnya maju-mundur dan tidak semudah dari yang semula banyak dibayangkan akan mudah.

Sejak pengunduran diri Sandiaga kemudian proses mencari penggantinya berada di partai-partai pengusung Anies-Sandi, yaitu Partai Gerinda dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kedua partai itu sebagai pengusung di putaran pertama, kemudian ditambah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat (PD) sebagai pendukung di putaran kedua pilkada.

Penentuan pengganti Sandiaga, sepenuhnya berada Gerinda dan PKS sebagai partai pengusung dalam pilkada. Publik tahu bagaimana hubungan dan sinergi kedua partai itu di DPRD DKI Jakarta.

Tampak tak ada riak yang muncul ke publik di antara keduanya.Tak ada pula konfrontasi dalam menyikapi beragam persoalan di ibu kota maupun hal-hal yang menyangkut cawagub.

Namun hubungan baik itu tidak menjadikan suksesi Wagub DKI mulus. Bahkan sampai 1,5 tahun belum juga tuntas.

Prosesnya seperti tarik-ukur, berputar lagi dan berproses lagi. Sepertinya alot, padahal kedua partai pengusung tersebut demikian dekat "bersahabat".

Mungkin waktu itu prosesnya tersendat karena kesibukan menghadapi Pemilu 2019 yang untuk pertama kalinya bersamaan dengan pilpres. Akibatnya konsentrasi terpecah antara suksesi wagub dengan pemilu dan pilpres, disamping kemungkinan adanya pertimbangan-pertimbangan politik.

Kedua partai tampaknya tidak menempuh "jalan pintas" dan mengedepankan kompromi. Tapi kompromi untuk suatu jabatan politik tergantung pada sejauhmana kepentingan politiknya terakomodasi.
Wakil Gubernur Sandiaga Uno. (ANTARA/Wahyu Putro A)
Paling Lama
Kini lebih 1,5 tahun sejak pengunduran diri Sandi dari balai kota, proses memilih dan menetapkan penggantinya belum juga berakhir. Artinya, masih berkutat pada proses sehingga belum ada hasil.

Anies dan publik tampaknya masih harus bersabar menunggu hasil dari proses itu. Walaupun tak kurang-kurangnya mendorong dan berharap proses itu segera memperoleh hasil.

Dicermati dari rangkaian sejarah, tak dapat dipungkiri bahwa proses politik memilih dan menetapkan wagub DKI kali ini terbilang paling lama. Bukannya hanya untuk ukuran DKI saja tetapi untuk rentang waktu bila dibandingkan dengan di berbagai daerah di Indonesia terbilang paling panjang.

Anies dalam berbagai kesempatan menyatakan semua proses memilih dan menetapkan wagub sepenuhnya urusan partai pengusung di pilkada. Dia pasrahkan sepenuhnya.

Dia hanya berharapan agar prosesnya dipercepat. Dia tidak menyampaikan figur, tetapi hanya kriteria wakil gubernur yang diinginkan untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Sandiaga Uno.

"Kalau menurut saya, nomor satu, dia ikut pada visi gubernur," kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta pada 11 November 2019.

Dia melanjutkan bahwa rekan kerjanya nanti harus dapat bekerjasama dalam segala situasi mengatasi masalah yang ada di Jakarta, tanpa membawa misi lain di luar program kerja yang diusungnya dalam kampanye Pilkada 2017.

"Kalau bawa agenda sendiri, ada deal-deal sendiri, kita tidak tahu tuh nanti seperti apa? Jadi ikut pada apa yang sudah menjadi janji gubernur,” ujarnya.

Ia mengharapkan kedua hal itu dapat ditemukannya dari nama-nama yang diajukan sebagai cawagub untuk memimpin Jakarta hingga 2022.

Anies memilih fokus mengurus DKI Jakarta yang sudah dipimpinnya dan menyerahkan persoalan cawagub kepada partai politik yang berwenang mengisi kekosongan posisi itu.

"Biarkan mereka (partai politik) yang memutuskan. Saya konsentrasi pada pekerjaan saya sebagai gubernur," kata Anies.

Baca juga: LKSP: Pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta sebagai ujian demokrasi
Baca juga: Anies minta DPRD Jakarta segera proses seleksi Wagub DKI
Baca juga: Legislator: DKI butuh sosok wagub politikus
Hari Pertama Gubernur - Wagub DKI Jakarta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kiri) dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat mengumpulkan jajaran pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Balai Kota, Jakarta, Selasa (17/10/2017). Kegiatan tersebut merupakan bagian dari perkenalan dengan birokrat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. (ANTARA /Galih Pradipta)
Pengalaman
Dari sisi realita, Jakarta--yang sampai saat ini masih menyandang predikat sebagai ibu kota negara--dihadapkan pada beragam persoalan yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan. Dari kemacetan, banjir hingga polusi udara.

Di tengah persoalan kronis itu, Anies setahap demi setahap menyelesaikan sendiri tanpa seorang wagub. Seperti sebuah rumah tangga, Jakarta diurus oleh "single parent".

Semua penyelesaian bertumpu pada Anies. Keberhasilannya akan sangat tergantung kepada faktor kepemimpinan dalam menggerakkan mesin birokrasi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Beruntung, Anies punya pengalaman memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang organisasinya menjangkau seluruh wilayah Indonesia; dari kota hingga pelosok. Urusannya dari pendidikan paling rendah hingga sekolah menengah; dari urusan guru hingga gedung sekolah berikut peralatannya.

Pengalaman itu tentu sangat berguna di tengah keharusan menyelesaikan beragam persoalan Jakarta. Hasilnya pun bisa dirasakan oleh warganya.

Kemacetan, misalnya, Anies telah merebut penghargaan internasional karena dinilai berhasil meningkatkan rasio laju kecepatan kendaraan. Pun demikian dengan integrasi angkutan umum yang dinilai mampu menambah jumlah orang untuk menggunakan angkutan umum dengan aturan ganjil-genap.

Imbasnya adalah polusi udara yang kini tidak diributkan lagi. Tetapi persoalan banjir dan genangan di jalan raya masih merupakan pekerjaan yang harus menjadi prioritas.

Di tengah masih adanya tantangan pekerjaan itu serta mempersiapkan Jakarta ke depan sebagai pusat perekonomian--karena ibu kota akan dipindah--tak berlebihan kiranya publik berharap proses panjang suksesi wagub segera tuntas.

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020