Semarang (ANTARA News) - Presiden terpilih Amerika Serikat, Barack Obama, diragukan memberikan perubahan terhadap kebijakan politik negara adidaya ini dalam krisis Israel dan Palestina.

"Meski ada harapan baru terciptanya perdamaian dalam krisis Israel-Palestina dalam kepemimpinan Barack Obama yang halus dan lebih moderat saat menghadapi masalah, kecil kemungkinan terjadi perubahan kebijakan politik dalam masalah ini," kata Pengamat Politik Internasional Universitas Diponegoro Semarang, Tri Cahyo Utomo, di Semarang, Jateng, Kamis.

Menurut dia, terdapat faktor kuat yang mempengaruhi arah kebijakan politik AS dalam krisis ini, yakni keberadaan unsur Yahudi di eksekutif dan legislatif.

Dengan adanya lobi di dalam legislatif dan eksekutif, kata dia, maka cukup sulit untuk mengubah arah kebijakan politik AS.

Selain faktor AS, kata dia, terdapat faktor lain yang berperan dalam upaya penyelesaian konflik ini, yakni internal Palestina yang perlu dibenahi.

Ia menilai, faksi Hamas menunjukkan cara-cara yang ekstrem dalam memperjuangkan haknya.

Selain itu, kata dia, dukungan di kalangan negara Arab dalam upaya penyelesaian konflik ini dinilai masih sangat kurang.

"Dukungan negara-negara Arab hanya disampaikan di atas kertas, namun kenyataannya bantuan yang diberikan sangat kecil," katanya.

Terlebih lagi Indonesia, kata dia, yang mengajukan diri sebagai penengah dalam krisis ini, namun tidak memiliki hubungan diplomatis dengan Israel.

Ia kembali menegaskan, sikap AS yang berat sebelah dalam menghadapi krisis Israel-Palestina ini cukup berpengaruh terhadap arah kebijakan politiknya.

Menurut dia, Barack Obama sebagai presiden terpilih yang akan dilantik pada 20 Januari 2009 mendatang diragukan dapat memberikan perubahan warna pada kebijakan politik luar negeri AS. (*)
 

Copyright © ANTARA 2009