Jakarta (ANTARA) - Berbentuk tabung besar, sejumlah mesin dengan merek Canberra asal Amerika Serikat (AS) memproses stroberi yang dimasukkan ke dalamnya untuk kemudian mendeteksi kandungan radiasi dari buah hasil pertanian desa-desa di Fukushima, Jepang, itu.

Sebelumnya, di ruang yang terpisah dari ruang mesin, seorang petugas telah memotong tipis-tipis stroberi merah segar. Petugas lainnya memasukkan potongan buah itu ke dalam wadah tabung plastik transparan.

Wadah berisi potongan stroberi itulah yang kemudian diberikan kepada petugas lain yang berseragam putih laboratorium untuk dimasukkan ke dalam mesin detektor semikonduktor germanium tersebut.

Proses analisis semacam ini dilakukan setiap hari mulai Senin sampai Jumat di Pusat Teknologi Pertanian Fukushima di Kota Koriyama, Prefektur Fukushima, dengan pembagian hari untuk sayuran, buah-buahan, hasil laut, padi-padian, tumbuhan liar, daging-dagingan, serta sejumlah hasil tani dan ternak lain.

Dalam hitungan mulai 19 Maret 2011 hingga 31 Desember 2019, laboratorium itu sudah menganalisis sejumlah 230.878 sampel bahan pangan.

"Sejauh ini, bahan pangan yang dikelola manusia masih bisa terkontrol, kecuali buah-buahan dan jamur liar," ujar Kenji Kusano, Direktur Umum Departemen Promosi Keamanan Pertanian Pusat Teknologi Pertanian Fukushima kepada para wartawan Indonesia dalam kunjungan ke lokasi, 6 Februari 2020.

Komoditas pertanian dan perikanan dari Fukushima sempat menjadi primadona ekspor hingga tahun 2010, sebelum wilayah itu terdampak petaka ledakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi serta momok dan rumor yang mengikutinya kemudian.

Jelang sore pada 11 Maret 2011, bencana gempa bumi magnitudo 9.0 mengguncang wilayah Tohoku, bagian timur laut Jepang, disusul terjangan tsunami berketinggian 10 hingga 15 meter yang menyapu rumah dan infrastruktur di wilayah-wilayah pesisir.

Aliran listrik padam pasca kedua bencana alam itu, hingga mengakibatkan sistem pendinginan reaktor nuklir di PLTN gagal berjalan. Dari enam reaktor di sana, reaktor nomor 1, 3, dan 4 meledak. Tiga sisanya tak meledak namun turut dinonaktifkan.

Setelah kejadian dahsyat itu, radiasi radioaktif menjadi ancaman bahaya tersendiri. Fukushima seakan bersinonim dengan radiasi.

Satu bulan lebih usai kecelakaan PLTN--sebagaimana pemerintah Jepang menyebutnya demikian--tepatnya pada 22 April 2011, perintah evakuasi diturunkan dari pusat.

Skema evakuasi diterapkan dengan radius 30 kilometer dari titik ledakan. Itu berarti mencakup 12,5 persen dari luas area seluruh Prefektur Fukushima yang kurang lebih membentang 166 kilometer dari timur ke barat.

Jumlah masyarakat yang dievakuasi mencapai puncaknya pada Mei setahun kemudian, yakni tercatat sebesar 164.865 orang.
Perwakilan Pemerintah Daerah Fukushima menunjukkan sebaran angka radiasi udara saat ini di sejumlah wilayah Fukushima. (ANTARA/Suwanti)


"Kami mengalami kesulitan karena bencana yang bertubi-tubi ini belum pernah terjadi sebelumnya di dunia. Setelah sembilan tahun berlalu, sebagian wilayah bisa pulih, namun sebagian lain dalam proses pemulihan yang lambat," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah Prefektur Fukushima, Yuichi Takahashi, mengakui.

Pulih, seperti dimaksud pemerintah Fukushima, salah satunya bisa diartikan sebagai instrumen evakuasi dengan angka yang terus merosot.

Dari 12,5 persen luas zona yang perlu evakuasi awal setelah terjadi kecelakaan, kini terhitung hanya tinggal 2,5 persen saja, termasuk pusat PLTN dan daerah sekitarnya dalam radius 20 sekitar kilometer.

Sementara limbah radiasi di wilayah kontaminasi yang agak jauh dari pusat ledakan telah ditangani, misalnya dengan pengangkatan tanah dilanjutkan dengan pengemasan khusus dan penyimpanan di tempat penyimpanan sementara, sedangkan zona sisa 2,5 persen masih terkendala level radiasi sangat tinggi.

Area kontaminasi radioaktif di udara, menurut hasil pemantauan pemerintah, juga terus menyusut dengan angka radiasi yang turut mengecil.

Di pusat Kota Fukushima, misalnya, radiasi sebelum bencana terpantau di angka 0,04 mikrosievert/jam. April 2011, angkanya naik drastis hingga mencapai 2,74 mikrosievert/jam. Setelah penurunan dari tahun ke tahun, per Juli 2019 angkanya telah kembali mendekati kondisi semula, yaitu 0,14 mikrosievert/jam.

Dengan begitu, masyarakat yang sebelumnya dievakuasi juga telah banyak yang kembali ke kawasan tempat tinggal mereka. Dari angka paling tinggi 164.865 orang pada Mei 2012, kini tersisa sekitar satu perempat, 42.705 orang, yang berarti 2,3 persen dari seluruh populasi di Prefektur Fukushima.

Kemudian contoh paling konkret, hasil uji deteksi radiasi pada produk-produk pertanian dan perikanan juga menunjukkan kecenderungan positif.

Data Pusat Teknologi Pertanian Fukushima menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2019 tidak ada satupun sampel produk pertanian, seperti beras, sayur, buah, daging, bahkan jamur liar, yang melewati angka batas standar paparan radioaktif dari zat cesium.

Sebetulnya hasil uji yang positif ini telah muncul sepenuhnya pada 2017. Kurun waktu dua tahun, hasilnya tetap dalam konsistensi yang sama.

Hanya saja pada produk ikan dari sungai, danau, dan rawa, sebanyak empat dari 1.128 total sampel yang diuji tercatat mempunyai angka kontaminasi radioaktif yang melebihi standar. Namun angka itu kecil sekali jika dibuat prosentase, yakni 0,35 persen.

Bagaimanapun, fakta-fakta hasil penanganan sembilan tahun belakangan itu tentu tidak serta-merta membebaskan Fukushima dari rumor radiasi, hanya saja pemerintah jepang nampak telah cukup nyaman menyebut dirinya pulih dan bangkit.

Sejak tak cukup dengan data hasil pengujian, berbagai bentuk promosi dikejar, termasuk melibatkan Fukushima dalam gelaran pesta olahraga dunia, Olimpiade 2020, yang memang menempatkan Tokyo sebagai tuan rumah utama.

Akhir Maret mendatang, Fukushima akan menjadi titik awal estafet obor (torch relay) Olimpiade. Sementara saat gelaran pertandingannya nanti mulai 24 Juli hingga 9 Agustus, Stadion Baseball Azuma di Kota Fukushima akan menjadi arena (venue) untuk dua cabang olahraga, baseball dan softball.

Di luar itu pula, ternyata pimpinan pemerintahnya sendiri tidak muluk-muluk berpromosi. Gubernur Fukushima Masao Uchibori melakukan semacam pendekatan personal dengan model "blusukan", mempromosikan berbagai hasil pertanian dari wilayahnya kepada masyarakat di negara-negara lain.

Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2020