Padang (ANTARA News) - Pengamat pers dari Universitas Andalas (Unand), Prof Firman Hasan SH, LLM mengisyaratkan pers agar lebih instropeksi diri, mau menerima masukan dan tidak hanya mempengaruhi orang lain sebagai gejala memanfaatkan kebebasan pers yang berlebihan. "Pers Indonesia kini berada di sorga, memiliki kebebasan yang sedemikian rupa hingga cenderung terlihat berlebihan, ini tentu menyalahi perannya sebagai pilar demokrasi," kata Firman di Padang, Selasa. Pendapat demikian disampaikannya ketika dimintai kritik dan harapan terhadap pers dalam rangka HUT Pers Nasional pada 9 Februari 2009. Menurut dia, sejumlah pemberitaan media cetak dan tayangan televisi cenderung mendetail dan berkali-kali misalnya terhadap kasus-kasus perkosaan, multilasi, perampokan dan pembuangan anak. "Tanpa disadari akibat penayanangan itu telah menjadikan media sebagai pembelajaran bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama," kata Firman yang juga pengajar pada pasca ilmu Hukum Bisnis Internasional Unand itu. Lebih parahnya, tanpa disadari oleh media terkait tayangan aksi unjuk rasa yang nyaris sama di berbagai daerah juga memberikan pembelajaran pada masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Mirisnya, media juga cenderung eksessif dalam pemberitaannya atau lebih banyak ekses atas keinginan pengelola media yang seharusnya bisa disampaikan dengan lebih bijak Seharusnya, katanya lagi, dalam reportasenya media terkait memberikan komentar yang mendidik. Pers Indonesia, menurut Firman, termasuk pers yang paling bebas di dunia, yang kadang cenderung terjebak kebebasan yang salah kaprah, seharusnya kebebasan pers yang dimiliki lebih mendorong meraih kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. "Karena media massa sudah menjadi tempat pertukaran ide, diskusi publik, sebaiknya tidak perlu memberikan ekspos pada hal-hal yang bersifat negatif," katanya. Mencermati media lokal khususnya di Sumbar, menurut dia, pers daerah ini juga ada kecenderungan mengekspos "kecap dapur" ketika cerita mengenai kebijakan manejemen justru menjadi berita utama. Sementara kepentingannya itu hanya sekadar membawa riak pada manejemen pers itu sendiri yang seharusnya yang perlu diberitakan adalah yang aksesbilitas publiknya lebih besar. "Pers memang harus mempertahankan prestise sebagai pilar demokrasi, tetapi kini jangan terlampau lama berada dalam prilaku transisi (saat ini, red), yang cenderung berlebihan itu," katanya. Pers, tambahnya, mempunyai kewajiban untuk mempertimbangkan apakah satu berita itu akan membawa dampak positif terhadap masyarakat atau tidak.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009