New York (ANTARA News) - Harga minyak turun, Jumat, dengan munculnya data pengangguran yang tak menggembirakan di AS, sehingga memicu kekhawatiran atas permintaan energi di tengah resesi yang memukul konsumen energi terbesar dunia itu. Kontrak utama pasar New York, minyak mentah light sweet untuk penyerahan Maret, turun 1 dolar menjadi 40,17 dolar per barel. Di London, minyak mentah Brent Laut Utara turun 25 sen menjadi 46,21 dolar per barel. Departemen Tenaga Kerja AS, Jumat, melaporkan bahwa angka pengangguran di negara itu meningkat pada Januari menjadi 7,6 persen, angka tertinggi sejak 1992, dengan hilangnya 598.000 lapangan pekerjaan di sektor non-pertanian. Angka pemutusan hubungan kerja ketika ekonomi memasuki tahun kedua resesi tersebut merupakan yang terburuk sejak 1974, demikian menurut laporan bulan departemen itu mengenai lapangan kerja di sektor non-pertanian. Laporan yang suram itu semakin meningkatkan kecemasan pasar mengenai merosotnya permintaan energi di negara konsumen energi terbesar dunia dan di seluruh dunia itu, ujar para analis. "Melemahnya pasar dalam enam bulan terakhir dikaitkan dengan menyusutnya permintaan dan ekspektasi penurunan lebih jauh. Bukti mengenai hal ini ada di mana-mana, paling tidak tampak pada laporan angka pengangguran hari ini," kata John Kilduff pada MF Global, sebagaimana dilaporkan AFP. Harga minyak telah anjlok lebih dari 70 persen sejak Juli 2008, ketika harga mencapai rekor tinggi sepanjang masa di atas 147 dolar per barel. "Pelambatan yang dramatik di AS dan pertumbuhan ekonomi global telah membuat dunia tak lagi mengkhawatirkan terus melonjaknya harga minyak," kata Phil Flynn dari Alaron Trading. "Tanda-tanda bahwa permintaan telah mencapai puncaknya muncul di mana-mana dan terutama sekali tampak jelas ketika kita melihat semua kapasitas yang menganggur di seluruh pasar dunia," kata Flynn. Kilduff menyatakan laporan lapangan kerja yang suram akan mendorong para anggota lembaga legislatif AS "untuk lebih memperhatikan semakin pentingnya stimulus ekonomi." Presiden Barack Obama kini sedang mendesak Kongres agar meloloskan RUU rencana stimulus besar-besaran, dengan nilai sekitar 900 miliar dolar, untuk mencegah pelambatan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2009