Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI) di Jakarta, Senin, mengajukan permohonan peninjauan (judicial review) pasal 245 UU No 10/2008 tentang Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 40/2008 tentang Lembaga Survei kepada Mahkamah Agung (MA).

Berkas pengajuan judicial review pasal 245 UU No 10/2008 itu dilakukan Ketua Umum AROPI Denny JA dan Sekjen AROPI Umar Bakry yang didampingi penasihat hukum Dr Andi M Asrun, SH dan diterima Kabag Adimintrasi MK Wiryanto dengan mendapat nomor pendaftaran berkas No. 95/PAN.MK/II/2009 tanggal 9 Februari 2009.

Denny JA dalam keterangan pers mengatakan, AROPI meminta MK membatalkan pasal 245 UU No10/2008 karena bertentangan dengan hak warga negara yang dijamin dalam konstitusi untuk menyatakan pendapat, serta meminta kepada MA untuk menyatakan Peraturan KPU No 40/2008 tidak berlakukan sampai MK menyelesaikan judicial review.

Menurut dia, kedua peraturan perudang-undangan yang mengatur tentang lembaga survei tersebut dinilai melampui kewenangan dan misi KPU, karena pengaturan tersebut dapat mematikan lembaga survei dan mereduksi kebebasan akademik untuk menyatakan pendapat yang dijamin dalam konstitusi.

Dia mencontohkan, pasal 245 UU No10/2008 yang mengatur bahwa lembaga survei dapat mengumumkan hasil hitung cepat (quick qount) pemilu setelah sehari pelaksanaan pemilu. Hal ini, kata Denny, bertentangan dengan prinsip demokrasi dan di negara demokrasi maju sepertai AS, bahwa satu detik setelah pemilu, lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepatnya ke publik.

Sedangkan, ketentuan dalam Peraturan KPU No 40/2008 yang mewajibkan lembaga survei menyerahkan berbagai persyaratan termasuk metodologi lembaga survei, kata Denny, mencerminkan intervensi institusi politik ke dalam ranah akademik. Di berbagai negara demokrasi, perizinan dan penilain atas kelayakan suatu profesi dilakukan oleh asosiasi profesi, bukan oleh lembaga negara.

Denny menegaskan, idealnya UU dan peraturan KPU mengatur agar KPU menjadi mitra strategis bukan pengontrol lembaga survei. Dengan menjadi mitra strategis, KPU akan diberikan koridor untuk tidak bertindak terlalu jauh serta UU seharusnya meminta KPU melakukan studi banding dengan melihat bagaimana negara demokrasi berurusan dengan lembaga survei.

Sementara itu, Andi M Asrun mengatakan, pasal 245 UU No 10/2008 secara tersurat telah membatasi dan mereduksi hak-hak konstitusional para penyelenggara survei sebagai warga negara RI. Ketentuan dalam pasal tersebut yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat termasuk lembaga survei, harus tunduk kepada ketentuan KPU telah membuka ruang yang sangat lebar bagi KPU untuk bertindak melebihi kewenangannya.

Pasal 245 tersebut, katanya, selain mengekang kebebasan ilmiah yang mengancam hak hidup para penyelenggara survei yang dijamin konstitusi, juga dinilai bertentangan pasa 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak". Pasal 28A UD 1945 menambahkan:"Setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya".

Sedangkan, ketentuan Peraturan KPU No 40/2008 yang mewajibkan lembaga survei melakukan registrasi kepada KPU dinilai bertentangan dengan semangat reformasi yang diantaranya menekankan perlunya debirokratisasi dalam segala bidang. Ketentuan peraturan KPU tersebut dinilai memperpanjang rantai birokrasi penyelenggaraan survei opini publik.

Oleh karena itu, kata Asrun, pihaknya memohon MK agar mengabulkan permohonan judicial review pasal 245 UU No. 10/2008 dan pihaknya memohon MA mengabulkan putusan sela atas Peraturan KPU No 40/2008 agar untuk sementara peraturan tersebut tidak diberlakukan.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009