Banjarmasin (ANTARA News) - Tri Tura (tiga tuntutan rakyat) pada masa penggulingan rizem pemerintahan Orde Lama (Orla) di awal tahun 1966, salah satu diantaranya, baik secara psikis maupun faktual sampai saat ini belum terwujud, ujar Drs. H. Jusriansyah Azis, mantan aktivis eksponen Angkatan 66.

"Tri Tura yang belum terwujud, `turunkan harga sandang pangan` yang hingga saat masih menjadi dambaan masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang tergolong tak berpunya, yang merupakan sebagian besar penduduk kita," lanjutnya saat peringatan 63 tahun Gugurnya Pahlawan Ampera Hasanuddin HM, di Banjarmasin, Selasa malam.

Oleh karenanya, menurut pensiunan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin tersebut, pemerintahan sekarang dan mendatang masih berkewajiban mewujudkan turunnya harga sandang pangan atau sembilan kebutuhan pokok (sembako) agar terjangkau daya beli masyarakat banyak.

"Sebab kalau seperti kondisi belakangan ini, banyak rakyat kecil yang menjerit karena harga sembako hampir tak terjangkau daya beli mereka," lanjut mantan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tersebut.


Orba dan Amanat Penderitaan Rakyat

"Tri Tura yang tercetus saat mau memasuki rizem pemerintahan Orde Baru (Orba) itu bagian dari Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), yang menjadi perjuangan Angkatan 66 dan mengakibatkan gugurnya Hasanuddin Haji Madjedi sebagai Pahlawan Ampera pertama di Indonesia," demikian Jusriansyah.

Pada kesempatan terpisah, rekannya sesama eksponen Angkatan 66, Sjazli Arsyad Abdis dari Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), berpendapat, secara filosofi Tri Tura belum terwujud tuntas, walau secara fisik mungkin sudah dianggap selesai.

Sebagai contoh diantara Tri Tura yang mungkin dianggap tak perlu perjuangan lagi, "bubarkan kabinet 100 meteri" dan "bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama semua ormas-ormasnya".

Tapi nilai filosifi tuntutan bubarkan kabinet 100 menteri, rakyat Indonesia menghendaki sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sedangkan nilai folosofi bubarkan PKI bersama onderbawnya, menuntut perbaikan sistem sistem perpolitikan di Indonesia, demikian Sj.A. Abdis.

Peringatan 63 tahun gugurnya Pahlawan Ampera dari mahasiswa tingkat persiapan (I) Fakultas Ekonomi Unlam itu, antara lain ditandai dengan acara tahlilan di Masjid Baitul Hikmah Kampus perguruan tinggi negeri (PTN) tersebut, Jalan Brigjen H.Hasan Basry - Bundaran Kayu Tangi Banjarmasin.

Dalam acara haul dan tahlilan tersebut hadir Rektor Unlam, Prof.Ir. H.M. Rasmadi, MS, mantan Rektor PTN itu, Prof.H.M. Kustan Basri, para mantan aktivis Angkatan 66, yang didahului shalat maghrib berjemaah serta pembacaan surah Yassin.

Hasanuddin HM gugur karena kena tembakan dari oknum tentara dari Batalyon K Kodam Deponegoro - Jawa Tengah yang di-BKO-kan di Banjarmasin, pada 10 Februari 1966.

Ketika almarhum yang sedang memegang spanduk bertuliskan "Tak Ada Pilihan Lain, Menjadi Bangsa Indonesia atau Bangsa Asing" bersama rekan-rekan demonstran lainnya kembali dari berunjukrasa di Konsulat RRT (Republik Rakyat Tjina/RRC) di Jalan Pacinan Laut, kini Jalan Kapt Pere Tendean Banjarmasin.

Pahlawan Ampera yang gugur pertama di Indonesia itu, dimakamkan satu kompleks dengan Pahlawan Nasional Pangeran Antasari, di kawasan pekuburan muslim - Jalan Masjid Jami` (Jamik) Banjarmasin.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009