Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik J. Kristiadi berpendapat koalisi partai-partai politik akan kuat jika dibangun lebih awal sebelum pemilu legislatif.

Saat berbicara dalam Dialektika Demokrasi di Gedung DPR Senayan Jakarta, Jumat, Kristiadi mengatakan bahwa koalisi pasca pemilu legislatif hitungannya sudah pragmatis.

"Sementara jika koalisi itu disepakati sebelum pemilu legislatif maka chemistry-nya akan semakin kuat," kata pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) itu.

Dalam diskusi yang bertema "Panas-Dingin Hubungan Golkar-Demokrat" itu Kristiadi memperkirakan kandidat terkuat capres-cawapres adalah pasangan incumbent Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK).

Karenanya ia menyarankan agar sejak awal keduanya menyatakan paket pencalonan yang sama seperti di Pemilu 2004.

Menurut dia, memang akan ada resistensi internal Golkar, namun karena karakter Golkar adalah partai penguasa, maka selama Jusuf Kalla masih menjadi wakil presiden, pelan-pelan resistensi itu akan terhapus.

Namun demikian, Kristiadi menilai, kerja sama politik SBY-JK itu pada dasarnya hanya koalisi dua orang saja dan tidak sepenuhnya melibatkan kader-kader kedua partai itu.

"Bisa jadi koalisinya hanya ewuh-pakewuh, sehingga tidak jelas pula," katanya.

Mengenai polemik tentang pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok yang kemudian ditangapi serius oleh kedua tokoh partai itu, Kristiadi menilai, keduanya (SBY dan JK) over acting dan tidak percaya diri.

"Seharusnya isu seperti itu tidak perlu digubris karena saat 1999, ketika Golkar pada titik terendah, ternyata mampu eksis pada pemilu," katanya.

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Priyo Budi Santoso menegaskan bahwa klarifikasi Yudhoyono telah meneduhkan suasana pada tingkat DPP, namun belum sepenuhnya meredam kegelisahan kader-kader Golkar di daerah.

Karenanya, menurut dia, pertanyaan yang paling relevan adalah bagaimana kelanjutan duet Yudhoyono-Kalla selanjutnya.

Ia juga mengatakan bahwa Golkar adalah partai besar dan agar tidak dilecehkan partai lainnya, maka Golkar punya opsi-opsi capres di antaranya mengajukan capres sendiri atau memimpin gerakan koalisi di luar Blok S (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Blok M (Megawati Soekarnoputri).

Sedangkan ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang juga menjadi pembicara mengatakan bahwa apabila pernyataan Mubarok tidak segera dijernihkan, maka hal itu bisa menjadi limbah politik yang berbahaya.

Dikatakannya bahwa implikasi dari persoalan yang berlarut-larut itu akan mempengaruhi tidak saja hubungan antara Demokrat dan Golkar, tapi juga hubungan kerja Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla.

Ia juga berharap, klarifikasi tersebut, bisa membuat Presiden Yudhoyono maupun Wapres Jusuf Kalla kembali bisa lebih fokus menyelesaikan masa pemerintahannya secara baik. (*)

Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2009