Jakarta (ANTARA News) - Tiga hakim konstitusi yang memberikan dissenting opinion dalam uji UU Pilpres, menyatakan Pasal 64 ayat (2) UUD 1945 tidak memberi peluang membuat kebijakan hukum yang terkontaminasi motif politik dalam menentukan presidential threshold.

"Pengusulan pasangan capres oleh parpol atau gabungan parpol yang tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 195, sebenarnya sudah sangat jelas maksudnya dan tidak memberi peluang bagi pembentuk UU untuk membuat kebijakan hukum dengan akal-akalan yang terkontaminasi motif politik ad hoc menentukan presidential threshold," kata hakim konstitusi dalam pembacaan putusan uji materi UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres, di Jakarta, Rabu.

Ketiga hakim konstitusi yang memberikan pendapat berbeda, yakni, Maruarar Siahaam, Akil Muchtar, dan Abdul Mukhtie Fadjar.

Dalam putusan itu, majelis hakim menolak permohonan uji materi UU Pilpres yang diajukan oleh enam partai itu, yakni, Partai Hanura, PDP, PIS, Partai Buruh, PPRN, dan Partai RepublikaN. Serta Partai Bulan Bintang (PBB) dan Saurip Kadi, capres independen.

Pendapat berbeda yang dibacakan oleh hakim konstitusi Akil Muchtar itu menyatakan penentuan presidential threshold itu tercantum dalam Pasal 9 UU Pilpres yang dimohonkan pengujian.

"Alasan penggunaan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, sebagai manifestasi mandat UUD 1945 kepada pembentuk UU dapat membuat syarat threshold, tidak tepat," katanya.

Pasalnya, kata dia, pasal tersebut tidak mengatur tentang persyaratan melainkan masalah cara, karena tentang syarat sudah diatur dalam Pasal 6 UUD 1945. "Hingga tidak dapat dicampuradukkan," katanya.

Demikian pula argumentasi bahwa presidential threshold, dimaksudkan agar capres memang mempunyai basis dukungan rakyat yang kuat dan luas.

"Pengalaman dari pilpres 2004, menunjukkan bahwa hasil pilpres tidak kompatibel dengan hasil pemilu legislatif dan jumlah perolehan suara partai atau gabungan parpol yang mengusung atau mengusulkannya," katanya.

Pasalnya, kata dia, pasangan calon parpol atau gabungan parpol pengusungnya, perolehan suaranya dalam pemilu legislatif lebih kecil dari pada perolehan suara pasangan calon lainnya.

"Justru yang memenangkan pilpres, sebenarnya kalau mau rasional, dengan telah ditetapkannya parliamentary threshold, maka lebih legitimat apabila presidential threshold bagi parpol atau gabungan parpol sama dengan parliamentary threshold, yakni, 2,5 persen," katanya.

Sebelumnya dilaporkan, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang diajukan enam partai gurem.

Keenam partai itu, yakni, Partai Hanura, PDP, PIS, Partai Buruh, PPRN, dan Partai RepublikaN. Serta Partai Bulan Bintang (PBB) dan Saurip Kadi, capres independen.

Hal itu merupakan putusan majelis hakim konstitusi yang dipimpin Mohammad Mahfud MD, dalam sidang pembacaan putusan uji UU tersebut, di Gedung MK, Jakarta, Rabu.

"Mengadili menyatakan menolak permohonan pemohon satu, Saurip Kadi, pemohon dua, PBB, dan pemohon III, Partai Hanura, PDP, PIS, Partai Buruh, PPRN, dan Partai RepublikanN," kata Mahfud MD.

Majelis hakim juga menyatakan dalil-dalil yang diajukan pemohon tidak beralasan, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam putusan itu, tiga majelis hakim menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda), yakni, Maruarar Siahaan, Akil Muchtar, dan Abdul Mukhtie Fadjar. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009