Yogyakarta (ANTARA News) - Sediaan bentuk puyer sebagai obat racikan masih sangat relevan untuk anak maupun bayi, karena sesuai dengan kebutuhan di Indonesia di mana dosis sediaan farmasi yang didisain untuk anak atau bayi masih sangat sedikit.

"Dalam pandangan saya sebagai pendidik, sesungguhnya masih ada informasi yang kurang lengkap tentang puyer. Saya berkesimpulan tidak ada yang salah dari sisi kefarmasian tentang puyer atau cara pembuatan puyer," kata Dekan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Marchaban DESS di Yogyakarta, Selasa.

Meskipun demikian, menurut dia menanggapi kontroversi puyer sebagai obat untuk anak, dirinya tidak menampik kenyataan jika dosis untuk anak atau bayi itu bervariasi, karena didasarkan pada berat badan. Anak atau bayi tentunya memiliki berat badan yang berbeda, ada bayi yang montok atau kurus, sehingga dosisnya juga berbeda-beda.

"Oleh karena itu, dokter bisa membuat variasi dosis puyer yang bermacam-macam dan meminta apoteker untuk menyiapkannya. Jadi sesungguhnya tidak ada yang salah dari penggunaan puyer untuk obat anak atau bayi," katanya.

Ia mengatakan, jika membagi obat untuk dibuat puyer tidak dengan menimbang tetapi hanya berdasarkan penglihatan, secara teori hal itu dibenarkan dan tidak masalah, karena telah diajarkan di Fakultas Farmasi.

Jadi, menurut dia, tidak harus menimbang kembali, misalnya menjadi 10 bungkus atau berapa, dengan menimbang satu per satu.

"Hal itu tidak perlu, karena dalam ilmu farmasi pembagian seperti itu diperbolehkan, dengan syarat berat masing-masing bungkus itu tidak bersilih 10 persen. Itu namanya timbang kira-kira," katanya.

Menyinggung profesi apoteker di Indonesia, ia mengatakan, profesi tersebut di negeri ini cukup memprihatinkan, karena kurang dihargai dan dipercaya masyarakat.

Padahal, menurut dia, di Amerika Serikat (AS) profesi apoteker sangat dihargai dan dipercaya masyarakat. Bahkan hasil survei di negara tersebut menunjukkan profesi apoteker lebih tinggi daripada profesi dokter.

"Kami merasa prihatin dengan profesi apoteker di Indonesia, karena tidak sebaik di AS. Hal ini tentu bukan kesalahan para apoteker baru, melainkan para apoteker pendahulu. leh karena itu, saya berharap para apoteker baru memiliki tugas tambahan, yaitu mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada apoteker," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009