Kendala utamanya sebenarnya biaya
Jakarta (ANTARA) - Virus COVID-19 yang pertama kali muncul di Wuhan, Provinsi Hubei, China, menyebabkan munculnya penyakit baru yang mewabah hingga ke sejumlah negara di dunia.

Kasus baru penyebaran virus corona COVID-19 terus bertambah menjadi 95.333 kasus per tanggal 5 Maret 2020 yang sekitar 80 persen kasus baru berasal dari Italia, Korea Selatan, dan Iran.

Berdasarkan laporan situasi harian yang dikutip dari laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jakarta, Jumat (6/3), terdapat sebanyak 2.241 kasus baru per hari kemarin dengan rincian 143 kasus dari China dan 2.098 kasus secara global di 85 negara.

Total kasus di China sebanyak 80.565 dengan total kematian 3.015 (31 angka kematian baru). Sementara secara global di luar China terdapat 14.768 kasus di 85 negara dengan total kematian 267 jiwa (53 kematian baru). Lima negara melaporkan kasus COVID-19 pertamanya yaitu Bosnia dan Herzegowina, Gibraltar, Hungaria, Slovenia, dan di wilayah Palestina.

Virus COVID-19 merupakan jenis virus corona ketujuh yang diketahui menyebabkan zoonosis, penyakit yang ditularkan dari hewan kepada manusia.

Berkejaran dengan waktu, penanganan virus COVID-19 juga memerlukan pengembangan vaksin untuk mengantisipasi penularan dan penyebaran penyakit serta mengurangi korban jiwa. Beberapa negara sudah mulai mengembangkan vaksin untuk virus COVID-19 seperti Rusia dan China. Bagaimana dengan Indonesia?

Setelah muncul kasus positif COVID-19 pertama di Indonesia dengan terungkapnya dua pasien yang tinggal di Depok, Jawa Barat, pada awal Maret 2020, pengembangan vaksin menjadi lebih mendapat perhatian.

Pengembangan vaksin ini hendaknya dilakukan secara nasional dengan melibatkan berbagai pihak termasuk lembaga penelitian dan pengembangan, pemerintah, swasta dan perguruan tinggi.

Namun pengembangan vaksin COVID-19 masih terkendala pendanaan. Hingga saat ini belum ada "bunyi gong" atau keputusan resmi dari pemerintah untuk menjadikan pengembangan vaksin COVID-19 menjadi prioritas nasional.

Pemerintah Indonesia diharapkan mulai membunyikan "gong" untuk menginisiasi kolaborasi lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, pemerintah dan swasta untuk membuka peluang kerja sama kolaboratif untuk mengembangkan vaksin COVID-19.

Baca juga: Kadin dorong kolaborasi pemerintah-dunia usaha hadapi dampak corona

Produksi vaksin

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman telah menyampaikan keinginan untuk pengembangan vaksin kepada Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek). Lembaga ini sudah bersurat ke Menteri Riset dan Teknologi untuk meminta bantuan berupa dukungan pendanaan dari kementerian itu.

Di sisi lain, Lembaga Eijkman telah berdiskusi dengan PT Bio Farma untuk mengupayakan pembuatan vaksin virus corona.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan bahwa Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan PT Bio Farma sedang membahas pengembangan vaksin untuk menangkal infeksi virus corona baru penyebab COVID-19.

"Eijkman mereka sedang dalam pembicaraan dengan Bio Farma untuk mencoba memproduksi vaksin untuk menjaga kekebalan tubuh terhadap corona virus," kata Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro beberapa hari lalu di Jakarta.

Itikad untuk menemukan vaksin COVID-19 memang sudah muncul, namun itikad tersebut harus disambut dengan dukungan utama yakni pendanaan. Jika dana yang dikucurkan memadai, maka dapat dimulai pengembangan vaksin. Namun, pertanyaannya adalah kapan pengembangan vaksin ini dapat dimulai.

"Yang paling penting upaya ini sudah dimulai dan kita harus terus melakukan upaya penelitian sehingga kita lebih antisipatif dalam menghadapi berbagai kemungkinan penyakit atau outbreak (wabah) yang akan terjadi di masa yang akan datang," Menteri Bambang.

Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) menyambut baik penelitian untuk pengembangan vaksin COVID-19 dari berbagai pihak termasuk perguruan tinggi, namun pengembangan vaksin itu diharapkan tidak dilakukan sendiri-sendiri agar hasil yang dicapai dapat menonjol secara nasional.

"Kita sangat welcome dan sekarang kita memang punya skema bahwa penelitian itu tidak individual, tidak satu institusi, bahkan kita sudah dorong yang ada di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) itu yang pelaksanaan riset yang flagship (prioritas nasional) itu multi institusi," kata Plt. Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristek Muhammad Dimyati.

Jika ada perguruan tinggi yang ingin mengajukan proposal penelitian pengembangan vaksin COVID-19 ke Kemristek, maka kementerian itu akan mempersilakan. Namun, pengembangan vaksin itu harus dilakukan melalui kolaborasi berbagai pihak untuk memaksimalkan hasil riset.

"Pengalaman kita kalau melakukan penelitian sendiri-sendiri tidak jadi apa-apa karena sudah puluhan tahun kita melakukan riset sendiri sendiri hasilnya tidak ada yang menonjol secara nasional," ujarnya.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH menuturkan kendala utama untuk pengembangan vaksin COVID-19 adalah dana. Untuk tahap awal pengembangan vaksin, diperlukan sekitar Rp3 miliar sampai Rp5 miliar. Dana yang dibutuhkan bisa saja lebih besar tergantung dengan proses penelitian dan pengembangan.

"Kendala utamanya sebenarnya biaya. Kalau SDM (sumber daya manusia) kita punya ahli virus kemudian peralatan kita punya dan laboratorium khusus kita juga punya biosafety (BSL) 2 dan 3," tuturnya.

Baca juga: RSPI: Belum ada obat khusus diberikan pada pasien virus Corona

Dana untuk pengembangan vaksin, kata Ari, memang dibutuhkan besar karena perlu untuk mendanai penelitian dan pengembangan kandidat vaksin, kemudian uji vaksin untuk binatang hingga uji vaksin ke manusia.

Selain itu, pengembangan vaksin akan melewati berbagai tahapan uji coba. Jika kandidat vaksin pertama tidak memberikan hasil yang bagus, maka bisa kembali ke penelitian awal hingga menemukan kandidat vaksin yang diharapkan.

Dia menuturkan pihaknya telah menyampaikan secara informal keinginan untuk pengembangan vaksin dan perlunya pendanaan yang memadai kepada Kementerian Riset dan Teknologi.

Pihaknya juga sedang mencari filantropis untuk mendukung pendanaan pengembangan vaksin COVID-19, namun hingga saat ini belum ada yang berminat.

Dengan kondisi ini, memang diperlukan "bunyi gong" dari pemerintah Indonesia untuk mewujudkan penelitian dan pengembangan vaksin COVID-19 sehingga kegiatan ini didukung dengan upaya kolaboratif termasuk sumber daya manusia dan pendanaan, serta meliputi seluruh pemangku kepentingan termasuk investor swasta.

"Namanya riset seperti begini bukan seperti membalikkan tangan tentu ada berbagai macam kendala dan segala macam dalam proses riset tersebut, apakah bermasalah di 'animal' (binatang) atau tidak, kalau ternyata bermasalah tentunya kita mesti balik lagi mundur lagi karena ini kan menciptakan sesuatu, ini Inovasi dan butuh waktu dan tenaga dan segala macam," tuturnya.

Riset UI

Universitas Indonesia telah mengembangkan riset-riset untuk beberapa vaksin diantaranya untuk virus H5N1, dan virus dengue yang menyebabkan demam berdarah. Universitas ini juga pernah melakukan penelitian untuk pengembangan vaksin SARS, namun belum sampai uji di binatang, karena wabah itu telah berhenti.

"Kita tahu dananya (dana dari Kementerian Riset dan Teknologi) tidak bisa sekonyong-konyong (dikucurkan), ada proses segala macam jadi butuh waktu. Tapi di sisi lain, kita berjalan dengan waktu makanya ini kami lagi cari dana dana lain yang memang bisa sumber-sumber dana lain yang bisa men-mendukung riset kita ini," ujarnya.

Ari mengatakan pengembangan vaksin COVID-19 bisa menghabiskan waktu 3-5 tahun tergantung kondisi. Jika didukung dana yang tidak terbatas atau memadai maka bisa dipercepat 2-3 tahun.

"Masalahnya cepat atau lambatnya (pengembangan vaksin sampai mencapai hasil) tergantung dana dan juga tergantung SDM-nya. Artinya SDM (sumber daya manusia) yang bisa kita pekerjakan," tuturnya.

Dana menjadi persoalan yang krusial untuk pengembangan vaksin. Jika dana tidak terbatas maka dapat memperkerjakan akademisi atau peneliti yang andal yang bergelar PhD khusus untuk mengembangkan vaksin COVID-19.

Dana tersebut dapat digunakan untuk memperkerjakan ahli-ahli dari luar negeri dan dalam negeri untuk berkonsentrasi mengembangkan vaksin ini.

"Tapi kalau dana kita seret berarti kita menunggu mahasiswa dulu untuk mengerjakan. Kalau memang dana ini bisa besar kita bisa menyewa postdoc-postdoc (postdoctoral) kita bisa undang doctor-doctor, PhD, itu enak banget kalau ada dananya itu bisa lebih cepat," tuturnya.

Baca juga: Lawan corona dengan perilaku bersih
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020